27 Desember 2007

Bermain dengan Rindu




Bentangan air telaga nan jernih, dengan timpahan sinar mentari, menimbulkan binar-binar cemerlang bak mutiara di atas permadani bening. Di atasnya sepasang angsa putih bersih bersenda gurau memainkan melodi tentang kasih, tentang haru biru bercinta. Sedangkan angin yang lewat sejenak, membelai bulu-bulu angsa yang halus, menimbulkan aroma wewangian, menambah suasana romantis, bak surga di tanah Cina yang rupawan.

Ada kegelisahan di riak air. Gejolak lirih menimbulkan garis-garis melengkung, dari pusat membentuk lengkungan yang kian lebar, kian lebar hingga ke tepi telaga, dan pada akhirnya menghilang tanpa jejak. Sedang air jernih kembali jernih
.
Ketika angsa betina memagutkan kepalanya pada sang jantan. Ketika terdengar lenguh manja. Ketika mata bertemu mata. Ketika senyum bertemu senyum. Ketika bentangan daun-daun di sekitar telaga tak terhiraukan. Ketika angin tak terasakan lagi. Semuanya sekejap memainkan peran yang sama-sama berarti dan mempunyai makna. Nampak angsa betina tersenyum dengan tatapan mata berbinar, begitu pula dengan angsa jantan.

Tiba-tiba langit yang sedari tadi tampak bersahabat, dalam sekejap telah dipayungi mendung hitam tebal. Sedangkan angin tidak lagi mendayu tapi sudah berubah menjadi angin kencang. Riak air mulai nampak di telaga yang bening itu. Riaknya makin lama makin membesar hingga berubah menjadi gelombang yang menampar dinding tepi telaga. Sedang pohon-pohon rindang mulai meliuk-liuk mempertahankan kekokohannya.
Daun-daun yang seharusnya belum gugur dengan terpaksa gugur berjatuhan ke tanah dan tertiup angin, dibawa ke langit. Hewan serangga yang sedari tapi menikmati pemandangan indah yang diperankan kedua angsa tadi lari berhamburan menuju sarangnya. Sedangkan yang tidak sempat terbawa angin, terbang.

Satu dua titik-titik air mulai luruh. Membasahi tanah dengan rerumputan yang hijau. Tanah mulai basah dengan genangan-genangan air di sana sini. Daun-daun yang berserakan tak luput berlepotan dengan air. Angsa jantan sudah mulai naik di tepi telaga diikuti angsa betina. Sejenak mereka berdua bertatapan, tanpa suara, tanpa kedipan mata, tanpa makna. Gelegar dan kilatan petir membuyarkan pikiran mereka, tapi semuanya tidak bertahan lama. Kesunyian hadir di hati masing-masing. Tatapan mata, tak bermakna, senyum tak bermakna, hanya ada kegalauan yang hinggap dan menghuni di masing-masing hati mereka.

Air telaga mulai menggenangi kaki mereka. Hujan semakin lama semakin deras. Angin kelihatan sudah tidak bersahabat lagi. Pohon-pohon satu dua sudah mulai tumbang. Sedangkan rumput yang mereka pijak sudah tak tampak. Semuanya tergenang air yang sudah mulai keruh bercampur dengan tanah dan sisa-sisa daun yang tertinggal di tepi telaga itu. Keceriaan dan kesyahduan yang sejenak mereka nikmati tadi telah luluh lantak terhapus. Yang tersisa hanya di hati masing-masing.

Tanpa ada suara, tanpa ada tatapan, tanpa ada keceriaan, angsa jantan dan angsa betina mencari jalan sendiri-sendiri. Mencari jalan ke sarang mereka. Mencari kehidupan yang mereka anggap paling bersahaja. Berusaha menemukan kebenaran di atas kebenaran. Berusaha menemukan cinta di atas cinta. Berusaha menemukan kebahagiaan di atas kebahagiaan. Berusaha menemukan kesombongan di atas kesombongan. Sedangkan rasa rindu, dengan pongah mereka titipkan pada angin, pada hujan, pada halilintar, pada air, pada pohon, pada tepi telaga, yang sekarang sudah keruh airnya.

(Catatan perjalanan mencuri waktu)

Bermain dengan Rindu





Bentangan air telaga nan jernih, dengan timpahan sinar mentari, menimbulkan binar-binar cemerlang bak mutiara di atas permadani bening. Di atasnya sepasang angsa putih bersih bersenda gurau memainkan melodi tentang kasih, tentang haru biru bercinta. Sedangkan angin yang lewat sejenak, membelai bulu-bulu angsa yang halus, menimbulkan aroma wewangian, menambah suasana romantis, bak surga di tanah Cina yang rupawan.

Ada kegelisahan di riak air. Gejolak lirih menimbulkan garis-garis melengkung, dari pusat membentuk lengkungan yang kian lebar, kian lebar hingga ke tepi telaga, dan pada akhirnya menghilang tanpa jejak. Sedang air jernih kembali jernih
.
Ketika angsa betina memagutkan kepalanya pada sang jantan. Ketika terdengar lenguh manja. Ketika mata bertemu mata. Ketika senyum bertemu senyum. Ketika bentangan daun-daun di sekitar telaga tak terhiraukan. Ketika angin tak terasakan lagi. Semuanya sekejap memainkan peran yang sama-sama berarti dan mempunyai makna. Nampak angsa betina tersenyum dengan tatapan mata berbinar, begitu pula dengan angsa jantan.

Tiba-tiba langit yang sedari tadi tampak bersahabat, dalam sekejap telah dipayungi mendung hitam tebal. Sedangkan angin tidak lagi mendayu tapi sudah berubah menjadi angin kencang. Riak air mulai nampak di telaga yang bening itu. Riaknya makin lama makin membesar hingga berubah menjadi gelombang yang menampar dinding tepi telaga. Sedang pohon-pohon rindang mulai meliuk-liuk mempertahankan kekokohannya.
Daun-daun yang seharusnya belum gugur dengan terpaksa gugur berjatuhan ke tanah dan tertiup angin, dibawa ke langit. Hewan serangga yang sedari tapi menikmati pemandangan indah yang diperankan kedua angsa tadi lari berhamburan menuju sarangnya. Sedangkan yang tidak sempat terbawa angin, terbang.

Satu dua titik-titik air mulai luruh. Membasahi tanah dengan rerumputan yang hijau. Tanah mulai basah dengan genangan-genangan air di sana sini. Daun-daun yang berserakan tak luput berlepotan dengan air. Angsa jantan sudah mulai naik di tepi telaga diikuti angsa betina. Sejenak mereka berdua bertatapan, tanpa suara, tanpa kedipan mata, tanpa makna. Gelegar dan kilatan petir membuyarkan pikiran mereka, tapi semuanya tidak bertahan lama. Kesunyian hadir di hati masing-masing. Tatapan mata, tak bermakna, senyum tak bermakna, hanya ada kegalauan yang hinggap dan menghuni di masing-masing hati mereka.

Air telaga mulai menggenangi kaki mereka. Hujan semakin lama semakin deras. Angin kelihatan sudah tidak bersahabat lagi. Pohon-pohon satu dua sudah mulai tumbang. Sedangkan rumput yang mereka pijak sudah tak tampak. Semuanya tergenang air yang sudah mulai keruh bercampur dengan tanah dan sisa-sisa daun yang tertinggal di tepi telaga itu. Keceriaan dan kesyahduan yang sejenak mereka nikmati tadi telah luluh lantak terhapus. Yang tersisa hanya di hati masing-masing.

Tanpa ada suara, tanpa ada tatapan, tanpa ada keceriaan, angsa jantan dan angsa betina mencari jalan sendiri-sendiri. Mencari jalan ke sarang mereka. Mencari kehidupan yang mereka anggap paling bersahaja. Berusaha menemukan kebenaran di atas kebenaran. Berusaha menemukan cinta di atas cinta. Berusaha menemukan kebahagiaan di atas kebahagiaan. Berusaha menemukan kesombongan di atas kesombongan. Sedangkan rasa rindu, dengan pongah mereka titipkan pada angin, pada hujan, pada halilintar, pada air, pada pohon, pada tepi telaga, yang sekarang sudah keruh airnya.

(Catatan perjalanan mencuri waktu)

311207 11:08

Sekarang hari Senin. Seharusnya menurut pemerintah daerah saat ini aku sedang bersama kekasih hatiku, dan kedua pipit kecilku. Bercengkerama menikmati hari di ujung tahun 2007. Tapi apa mau dikata tugas memanggil dan aku harus melangkahkan kakiku untuk itu. Saat ini aku lagi menuliskan pada blog di labkom sekolahku. Ada perasaan gerah ada perasaan senang ternyata aku masih bisa menikmati kehidupan ini di ujung tahun 2007. Kehidupan yang telah diberikan oleh Allah, selama 24 jam plus selama setahun ini. Bila aku menelusuri perjalanan waktuku, masih banyak kekurangan dalam diriku. Masih banyak hening yang belum mampu aku manfaatkan. Masih menomorsatukan duniawi. Rangkaian peristiwa yang sudah tergilas oleh waktu, cinta, kasih sayang, suka, duka, gembira, menyakiti, disakiti, dicemooh, diabaikan, dibiarkan, dikhianati semua berbaur menjadi sebuah cerita yang tak mungkin aku lupakan. Cerita yang harus kau jadikan pedoman, utnuk melangkah menapaki tahun yang akan datang.

Aku berdiri di ujung waktu
Aku memagut waktu yang hanya sesaat
Kuberikan cinta dan kasih sayang
Kucoba tulus
Kucoba tulisi fatamorgana agar terlihat jelas
Mendung dan hujan menghapus dalam sekejap
Aku berdiri berteduh sendiri
Dingin
Sepi
Tak mengapa

Wanitaku. Ada kisah yang ingin kutuliskan. Suatu saat aku sedang menikmati sarapan pagi dengan pipit kecilku di meja makan. Aku makan nasi dengan pecel yang kau belikan pagi itu, sedangkan pipit kecil lagi berusaha menghabiskan susu, yang merupakan kewajibannya setiap pagi. Tiba-tiba pipit kecil memanggilku. Bapak, bapak, aku boleh bertanya. Boleh, kataku. Pak, selingkuh itu apa sih? Sejenak aku terperanjat dengan pertanyaan yang tak kan pernah aku bayangkan keluar dari mulut anak yang masih berusia tujuh tahun. Dengan sedikit senyum dan berusaha mencari jawaban yang tepat. Aku ambil sebuah gelas yang berisi air putih yang tinggal setengahnya, kemudian aku menutup gelas tadi dengan penutup gelas. Nah dik selingkuh itu seperti yang bapak lakukan tadi, yaitu menutup gelas yang berisi air putih dengan penutup gelas. Sambil tertawa kecil pipitku berkata, bohong, bapak bohong, selingkuh itu bukan seperti itu. Adik tidak percaya dengan bapak? tanyaku. kalau menurut kamu selingkuh itu apa, pancingku. Ya ngak tahu, jawabnya dengan santai. Nah kalau adik tidak tahu selingkuh ya seperti yang bapak sebutkan tadi. Mengerti! kataku. Pak! sambil berkata lirih, pipitku mendekati aku. Pak Bapak, kata Nonin selingkuh itu seperti ini lho! Seperti apa, kataku dengan tidak sabar. Sabar dong, jawab pipit kecilku. Kata Nonin selingkuh itu, orang yang sudah mempunyai istri, tapi kemudian mencari wanita lain sebagai pacarnya. Aku tertawa ....
Wanitaku, itulah pipit kecil kita. Yang sudah mulai tumbuh dengan informasi-informasi yang begitu cepat. Utamanya berita dan tayangan hiburan sinetron di televisi. Hingga dia tahu lebih cepat dari yang kita duga.

Wanitaku,
Dari tidak ada menjadi ada
Dari timur mentari mulai terbit
Pipit kecil adalah jati diri kita
Pipit kecil adalah potret diri kita
Di wajahnya terukir wajahmu
Di dahinya tertanam jiwaku
Semangatnya adalah semangatmu, dengan eyang putrinya
Kemauannya,adalah kemauanmu
Apa yang hendak kita berikan pada pipit kecil
Tergantung aku dan kau, wanitaku

Kulangkahkan Kakiku Walau dengan Mata Terpejam

Satu lagi
Detak jam menelusuri waktu
Berjalan dengan cepat meninggalkanku memeluk sepi
Rangkaian kata yang menyeruak diantaranya
Membelaiku sesaat, sedetik kemudian hilang tak berbekas
Kuantarkan jiwaku pada karang terjal
Mencari keheningan yang lebih hening
Kusampaikan puisi-puisiku pada kelelawar
Lebih bermakna daripada harus berbaur dengan yang lain

Kulangkahkan kakiku walau dengan mata terpejam
Kulanjutkan cintaku walau rasa lelah membelitku
Aku akan menghuni jiwaku
Aku akan bercerita pada jiwaku
Aku akan bacakan puisi pada jiwaku
Bila aku menangis itupun pada jiwaku
Tidak pada yang lain

Kulangkahkan kakiku walau dengan mata terpejam
...

23 Desember 2007

Pucuk Pinus

Ketika aku harus bergelut dengan dingin
Rasa itu hadir memelukku
Kutelusuri padang pinus yang semakin tandus
Kucoba tebarkan senyum diantara dedaunan yang masih berlepotan dengan embun malam
Kucoba membuka mimpi yang telah usang
Namun mimpi itu enggan hadir
Namun senyum itu telah kering
Yang hadir hanya kata-kata yang bagiku tak bermakna
Yang hadir hanya kata-kata yang melemparkanku jauh ke ujung yang tak bertepi

Aku melangkah lagi
walau tertatih-tatih
hasrat malam yang kian menggebu sudah tak kuhiraukan lagi
dingin masih setia menemaniku
embun masih suka membasuh wajahku
pucuk pinus masih menaungiku
ranting kering yang kuinjak masih memainkan iramanya
sedangkan rembulan
entah pergi kemana

Tiba di tanah datar
kurebahkan tubuh yang kian penat
alas ranting kering, di atasku menjulang pinus nan elok
kucoba pejam mencari suara
namun tak pernah kudengarkan
sunyi, bisu, hening
aku larut dalam tidurku
tanpa membawa kerinduan
sebab kerinduan telah terlumat oleh kata-kata tak bermakna

Aku Ingin

Aku ingin berbisik
tapi tak ada yang mau mendengarkan
Aku ingin berkata
tapi tak ada yang mau mendengarkan
Aku ingin berseru
tapi tak ada yang mau mendengarkan
Aku ingin berteriak
tapi tak ada yang mau mendengarkan
Aku ingin terisak
tapi tak ada yang mau memperhatikan
Aku ingin menangis
tapi tak ada yang mau memperhatikan
Aku ingin berharap
tapi harapan itu telah sirnah
Aku ingin menginginkan
tapi yang diinginkan telah hampa
Aku ingin bermimpi
tapi aku tak pandai bermimpi

Menjelang senja yang kesekian
aku sampirkan segala indahnya bianglala
aku pagutkan hasratku pada embun pagi
aku melangkah
aku berhenti
aku duduk
aku bersimpuh
aku diam

09 Desember 2007

Apabila

Apabila sudah ...
ya terserah

Apabila belum ...
ya terserah

Apabila akan ...
ya terserah

Apabila lagi ...
ya terserah

Apabila ingin ...
ya terserah

Apabila, apabila ...
terserah kamu sajalah

Takdirku

Kepalaku sudah terpenggal oleh takdir
Bahwa aku harus sendiri
Menikmati perjalanan waktu sendiri
Berkotbah di depan anak-anak sendiri

Apakah takdir itu kejam?
Tidak. Yang kejam adalah yang membuat aku jadi sendiri.
Memaksaku untuk berteman sepi tanpa dongeng-dongeng indah
Tanpa cerita-cerita yang membuatku gembira, sedih, galau, harap cemas.

Aku adalah orang yang paling layak untuk menghuni kegetiran
Merasakan detak detik jantung yang tak lagi beraturan
Menjalani lorong panjang, gelap, dingin
Kehangatan telah lama tergilas
Mendung kian hitam dan menebal

Tapi
Hidup harus tetap berjalan
Aku harus langkahkan kaki ini
Aku harus tapaki selangkah demi selangkah
Kalaupun kehangatan bisa hadir kembali
Kan kunikmati walau hanya di batas cakrawala.

Hujan

Dalam hening
Sentuhan jiwa melayang
Mengiringi malam yang kian pekat

Suara gemuruh tanda hujan
Membangkitkan imajiku untuk menikmati
Kubuka pintu, aku duduk
Gemericik hujan , merubah hening
Menjadi keriuhan
Satu, dua tetes air memercik mukaku
Aku hirup dalam-dalam, bau tanah yang masih perawan

Makin lama hujan kian deras
Tikus-tikus penghuni got berlari berlindung
Suara katak mulai memainkan simponi balada keheningan

Kupeluk lututku
Mataku tak pernah lepas dari tetes hujan
Kunikmati angin dingin yang mulai manja mencubit kulitku

Aku tersenyum
Andai bundaku masih ada
Aku biasa menemani
Aku akan bercerita tentang apa saja
Tentang keindahan pagi kemarin
Tentang pekerjaanku
Tentang nonik
Tentang mas kiky
Tentang adik windul
Tentang rumah
Tentang hutang-hutangku
Tentang masalah-masalahku
Tentang kesalahanku
tentangsekolahku
Ya semuanya
Dan , bunda akan selalu mendengarkan dengan senyum
Biasa aku pegang tangan bundaku
Aku rasakan bilur-bilur kulit yang sudah mulai uzur
Tangan itulah, memeberikan nuansa kasih tanpa pamrih
Tangan itulah yang bisa memberikan kehangatan tulus

Bunda,
Esok adalah jalinan cerita panjang
Kucoba hiasi dengan keping-keping kebajikan
Kucoba torehkan puisi-puisi cinta untukmu
Setiap kali aku cium sajadah, setiap kali pula aku lantunkan doa untukmu

Jalinan cerita yang lalu saat bersamamu
Adalah memori senyum, tawa, tangis, teriak, gembira, suka, duka, berbaur dalam pelukan kasih.
Saat ini masih terasa dalam haru biru.

Hujan masih hadir
Dingin masih menemaniku
Masih juga ada, dua ekor tikus lari menuju got.
Aku tengadah
Langit putih. Tak ada satu pun gemintang menghiasi cakrawala
Motor melaju di depanku. Pengendaranya basah kuyup

Masih kunikmati malam yang akan menyentuh pagi
Aku ingin tuntaskan rasa rinduku
Aku ingin bertasbih
Mendera batinku yang sampai detik ini masih terkenang.
Tetesan butir-butir air masih memercik
Gemericik masih memainkan melodi
Kusandarkan kepalaku
Kuhembuskan rasa galau menyibak rasa rinduku.

Bunda,

Ketika Aku Harus

Ketika aku harus menguak takdirku
Aku bersandar pada awan yang lembut
Aku renungkan tentang bintang-bintang
Tentang rembulan
Tentang kunang-kunang
Betapa indahnya gelap gulita

Ketika aku harus menhirup udara malam
Aku merasakan sentuhan dingin di lenganku
Badanku sedikit merinding
Aku menyibak cerita-cerita tentang cinta
Tentang kasih sayang
Tentang haru biru memperhatikan
Tentang keinginan untuk diperhatikan
Tentang gejolak batinku
Aku tersenyum bersama angin
Mendendangkan lagu-lagu tentang perawan
Mendeklamasikan puisi-puisi tentang wanita

Ketika aku harus terlelap dalam mimpi
Aku hadirkan sejuta fatamorgana
Keinginan untuk hidup semakin hidup
Dunia ini penuh warna-warni
Aku di dalamnya
Mematik cinta dan kunyalakan kembali
Senyumku adalah kehidupan yang penuh warna
Senyumku adalah nadi yang mengalirkan darah ke seluruh tubuhku
Senyumku menembus pilar-pilar kokoh
Menyeruak diantara kepastian yang menerawang
Mencari, mencuri, mengambil keping-keping kasih sayang
Kunikmati dengan alamku
Kubawa, kudekap, kuberi kehangatan yang nyata

Ketika aku harus menikmati rinai gerimis
Aku dibatas kenyataan
Aku harus berani melihat dengan mata hatiku
Memahat kepastian di batu cadas
Mengukir keinginan di kayu besi
Mataku nanar menerawang jauh

(Di batas ini , masih ada kelanjutannya)

Pagi

Pagi ini
Ada pemahaman baru tentang sang waktu
Bahwa waktu ada, untuk kita nikmati
Bahwa waktu ada, untuk kita jalani
Bahwa waktu ada, untuk kita lukisi
Bahwa waktu ada, untuk kita pahami

Pagi ini
Aku berbaur dengan waktu
Aku jalani pernik-pernik kehidupan
Dua rakaat telah aku jalani bersama belahan hatiku
Sejenak canda keduanya merambah sudut batinku
Dingin tak terasa lagi, hanya kehangatan yang kian mengelitik
Tenang duduk, mereka asyik sekali dengan pesona buku di hadapannya
Pertamaku, agak malas mengerjakan PR dari gurunya
Keduaku, asyik dengan soal-soal matematika
Ketigaku, menyiapkan hidangan
Sedang aku sendiri terlelap dengan sekelilingku
Ternyata waktu memberikan nuansa yang lebih untukku
Pak! Nomor tiga ini bagaimana? Keduaku bertanya
Kuhampiri dia. Kujelaskan dengan penuh pengertian

Pagi ini
Aku menelusuri jalan lebih lambat sepuluh menit
Perbedaan telah dihadapan
Kendaraan lebih banyak dari hari sebelumnya
Kukendarai merahku dengan kecepatan sedang
Di perempatan Adityawarman, dekat toko Palapa aku berhenti oleh lampu merah
Aku perhatikan wajah-wajah serius menunggu waktu
Aku perhatikan wajah-wajah semangat untuk menyertai waktu
Aku perhatikan keceriaan untuk menghiasi waktu
Lampu hijau
Kujalankan merahku agak sedikit cepat, takut waktu telah menungguku
Malu dengan sang bos yang mungkin telah menunggu di gerbang
Sampai di sekolah. Benar waktuku telah menunggu

Pagi ini
Aku hadapi murid-muridku dengan penuh semangat
Weblog yang ingin aku berikan telah siap dalam benak
Siswaku tampak juga ceria dan penuh semangat

Pagi ini ada yang baru bagiku
Bahwa waktu selalu ada disampingmu

27 November 2007

Duniapun Tersenyum

Entah! Kehidupan mana yang harus kujalani
Dunia seakan gelap, sunyi, bertabur gerimis pagi
Ingin aku berteriak. Edan!! Dunia ini memang edan!
Erangan dan rintihan yang menyeruak diantara gemerlap lampu kota. Terabaikan
Sementara yang lain, tidur nyenyak dalam pelukan malam
Usapan angin lembut menenggelamkan sanubari
Saat mentari menyapa
Aku bangkit dari imajiku
Nuansa kasih kucoba lukiskan pada waktuku
Tanpa ada perasaan pilih kasih diantara mereka
Orang-orang tersenyum. Akupun tersenyum. Duniapun tersenyum

11 November 2007

Aku Ada di Sana

Berjalanlah dengan langkah tegap. Selusuri kehidupan ini dengan niat dan keinginan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik. Kemarin adalah masa kelam, penuh dengan coretan-coretan yang berbekas. Tak baik bagi kita untuk mengenang. Tak ada guna bagi kita untuk selalu hadir dalam mimpi malam. Waktu yang telah kita jalani, biarkan berlalu. Seiring dengan derai hujan tadi malam. Biarkan dingin bercengkerama dengan angin. Biarkan sedih tertinggal dalam dentingan waktu.

Kini adalah waktu yang kesekian. Yang akan kita tapaki dengan coretan-coretan puisi. Yang akan kita lukisi dengan prosa-prosa kehidupan. Alunkan nada-nada indah di balik suaramu yang merdu. Senandungkan lagu dolanan anak yang tidak pernah meninggalkan keceriaannya. Di dalamnya tersembunyi nuansa kejujuran. Di dalamnya ada keinginan untuk meraih cita yang telah terpatri di relung hati yang paling dalam.

Raihlah. Apa yang ingin kau raih
Temukan semua keinginanmu. Bawa dalam dekapmu.

10 November 2007

Dukaku

Mengapa harus ada duka,
bila menimbulkan luka
Mengapa harus ada duka,
bila menimbulkan api membara
Mengapa harus ada duka,
bila menimbulkan hati kian merana
Mengapa harus ada duka,
bila harus meninggalkan mereka
Mengapa harus ada duka,
bila kehidupan seperti di neraka


Duka adalah serpihan luka yang menyelimuti diri, di dalamnya rasa sakit mengigit-gigit pelan dengan erangan yang membias di wajah.
Duka adalah rasa penyesalan, mengapa harus terjadi, mengapa harus diterima, mengapa harus merajam diri.
Duka adalah melihat jadi diri dengan arif. Sejenak berhenti bernafas untuk melihat, memutar kembali kejadian-kejadian yang telah lalu. Berusaha memahami, berusaha untuk menerima dengan ikhlas. Berusaha untuk tawakal. Bahwa memang duka pantas untuk kita terima.

Terima kasih.
Dukaku telah membawaku mengarungi selasar bianglala. Mengintip dari celah kecil sanubari yang telah sekian lama mengembara.

03 November 2007

Wanitaku

Wanitaku,
Berbaur dengan lagu kehidupan, kau mendampingiku
Senyum, mata, hati-mu merobek dinding terjal batinku
Memberikan nuansa kebahagiaan, keindahan yang menyelimuti tiap langkahku.
Kau torehkan puisi-puisi indah. Kau pahatkan kalimat-kalimat sejuk yang merayu mendayu lagu batinku.

Wanitaku,
Hari, minggu, bulan, dan tahun kuterjang, kulibas tanpa lelah hanya untuk dirimu
Waktuku adalah milikmu
Tenagaku adalah milikmu
Keringatku adalah milikmu
Air mataku adalah milikmu

Wanitaku,
Cakrawala batinku terkoyak, sobek tak tentu arah
Rimba jalan membuatku semakin pening.
Aromamu melemparkanku jauh menabrak dinding pembatas kesadaranku.
Suaramu, alunan kematian bagi cita-cita tulusku

Wanitaku,
Kepercayaanku luluh lantak terlumat kegetiran yang memahat dinding batinku, yang sarat dengan rasa curiga.
Hari ini sudah berbeda dengan kemarin. Entah hari esok ....
Puing-puing kehancuran sedikit demi sedikit mengikis ujung batinku.
Mahkota keabadian yang kutanam erat dalam jantung kehidupan mulai sedikit demi sedikit tak berdetak lagi.

Wanitaku,
Aku ikini mulai limbung.
Mataku berkunang-kunang tak bertepi.
Bayang di depanku kusam, putih. Ya hanya putih.
Tak tampak lukisan wajahmu. Canda, tawa, senyum, manja, pelukanmu tak berbekas.
Lambat namun pasti gelombang hitam pekat mulai merayap membentuk gumpalan-gumpalan tak yakin melumat memporak porandakan seluruh tebing terjal batinku.

Wanitaku
Kepercayaan adalah bingkai dalam kehidupan. Andai kau tahu sangat mahal dan sulit untuk menciptakan kembali.
Di dalamnya terhias rasa sayang, cinta, penuh harap diselimuti kabut tipis yang menggebu, memacu, meluncur, memeluk, mewakili kehidupan di dunia.

Wanitaku
Aku tak pernah menyesal berbagi kehidupan denganmu.
Dua kurcaci mungil adalah belahan jiwaku yang paling dalam.
Memberikan lukisan indah di setiap waktuku.
Canda, tawa, riang, kelucuan, celoteh mereka sejenak menyeretku tuk berpaling darimu.
Melupakan beban penat batinku
Melupakan akar-akar nakal yang mulai membelitku
Melupakan debu-debu kotor yang menampar mukaku.
Melupakan sesak dada yang membelengguku

Wanitaku,
Kau tetap wanitaku
Entah sampai kapan waktu berpihak padaku.

02-11-2007 16:15

21 Agustus 2007

MENARILAH

Menari di atas penderitaan
adalah penari yang tak punya nurani
terbentang dihadapannya
caci maki dan sumpah serapah

Menari di atas gelimang dosa
adalah penari yang tak bermartabat
di otaknya hanya rupiah ... rupiah
mimpinya hanya rupiah ... rupiah
Senyumnya hanya rupiah ... rupiah
lenggak lenggok tubuh gemulai hanya rupiah ... rupiah

Menari di atas rintihan sakit
adalah penari yang tak berperikemanusiaan
sifat manusia telah menguap
sifat welas asih sirnah di terpa angin
sifat arif membeku di tanah gersang

Menarilah ...
mumpung ada kesempatan
menarilah lagi ...
mumpung kau diberi waktu
menarilah lebih lagi ...
mumpung kakimu masih bisa diajak menari

Bila waktumu telah habis
Tuhan akan tersenyum
Senyum yang tak kan pernah bisa kita cari maknanya
Mungkin senyum kemenangan
Mungkin senyum ejekan
Mungkin senyum kebahagiaan
Tak ada yang tahu ...

Senyum itu lambat akan berakhir
ketika badanmu meregang
matamu mulai tertarik ke atas sampai menyentuh alis matamu
ketika dingin mulai merayap dari ujung kaki sampai ke ujung kepala
merayap merasuk sampai otakmu
membeku ...
ketika jasadmu harus sendiri berpisah dengan nyawamu
ketika
semuanya
berakhir
Menarilah
di atas bara membara

070807

JANGAN PERNAH

Jangan pernah berbohong
Kalau tak pandai berbohong
Pasti ketahuan!

Jangan pernah mencuri
Kalau tak pandai mencuri
Pasti ketahuan!

Jangan pernah mencontek
Kalau tak pandai mencontek
Pasti ketahuan!

Jangan pernah marah
Kalau tak pandai marah
Pasti lucu deh!

Kalau ingin pintar berbohong,
pintar mencuri,
pintar mencontek,
pintar marah
belajar dulu pada ahlinya ...
Saya ucapkan
"selamat belajar"

040807

ADA YANG BILANG ....

Ada yang bilang, aku ini cakep
Ada yang bilang, aku ini caem
Ada yang bilang, aku ini ganteng
Ada yang bilang, aku ini ganteng
dan
Ada yang bilang, aku ini pintar
ada yang bilang, aku ini jenius
Ada yang bilang, aku ini bisa segalanya

Tapi, ada yang bilang
semua itu bohong
Karena, aku hanyalah seekor tikus
yang terlindas truk sore ini

040807

04 Juli 2007

EPISODE RINDU-2

Semenjak senja tak lagi menyapaku
Aku biasa terhenyak, berteman dengan sepi
Siulan angin sore yang menerpa linggar batinku
Hanya membias sesaat, dan selanjutnya sirnah

Andai senja bisa kuajak bicara
Kan kutumpahkan rasa rindu dan galau hatiku
Biar tahu apa yang kurasa dan apa yang kuminta
Biar sepi tak lagi mendampingiku

Andai kemilau warna senja bisa kunikmati
Ingin rasanya mengulang kembali
Melihat senyum yang tersungging di sudut bibirmu
Melihat bias binar lentik matamu

EPISODE RINDU-1

Mengapa rindu selalu hadir, ketika mentari baru akan terlelap
Mengapa bias bianglala selalu memendarkan siluet senyum manismu
Mengapa angin dingin, membuat getar tubuhku mengingatkan pada pucuk-pucuk pinus yang hijau
Mengapa sunyi selalu membentuk fatamorgana yang mengingatkanku pada senja temaram nan elok
Mengapa rindu ...
Mengapa rindu harus ada dalam kamus batinku
Semuanya, bermuara pada rasa sayangku padamu

27 Juni 2007

26 Juni 2007

BELUM PERNAH KUBERI KEHANGATAN

Ada sesuatu yang mendera dalam jiwa
Menyeruak, menyobek mata hatiku
Membentur dinding keangkuhanku

Ingin kuberteriak
Tapi tak mampu
Ingin ku berkata
Rasa keluh menyekat tenggorokanku
Ingin kuberbisik
Suaraku tenggelam rasa salahku

Bunda …
Maafkan anakmu
Hari terkait hari aku membuatmu penat, kesal berkepanjangan
Malam berganti malam air matamu tak pernah tuntas
Kau tak pernah berkeluh kesah
Kau tak pernah berputus asa
Rasa pahit getir hanya berhenti dan menyesakkan dadamu

Bunda …
Hingga detik ini aku belum berarti
Tak ada sesuatu yang dapat kupersembahkan padamu
Belum pernah aku membuatmu tersenyum
Belum pernah binar matamu bercahaya

Bunda …
Maafkan segala salahku
Aku belum bisa mengganti air matamu
Aku belum bisa mengganti air susu yang telah kau berikan padaku

Aku belum bisa …
Aku belum dapat …
Aku belum mampu …
Aku belum sanggup …

Membahagiakanmu …………………….

Puisi ini kupersembahkan untuk ibuku tercinta (21 Maret 2005)

SERIBU .......

SERIBU KATA …
SERIBU INGAT …
SERIBU HARAP …
SERIBU DEKAP …
SERIBU PENGAP …
SERIBU KERAP …
SERIBU LAHAP …
COBA MENGGAPAI ALUNAN DERITA
YANG SIAP MENGOYAK JALINAN CERITA
MELANGLANG MENEMBUS DIMENSI
LAMUNAN YANG TERPATRI DALAM INGATAN

KULTUS KEIBUAN MENYIBAK TATANAN
YANG SUDAH MENJADI IDENTITASMU
KINI YANG KUDAPATKAN KEASINGAN
YANG BELUM PERNAH DAN SAMA SEKALI TAK KUKENAL

AWAL, KEBERSAMAAN, KESENDIRIAN
SELALU MELANGKAH BERSAMA SEIRING DENGAN CITA-CITAMU
APA YANG KAU CARI TELAH KAU GENGGAM

AKU TERLUPAKAN …

24 Juni 2007

PIPIT KECILKU


PUTRI,
KETIKA PERTAMA KALI MENGENALMU
ADA SEJUTA RASA MENYUSUP DALAM RELUNG HATIKU
MEMBINGKAI RIBUAN IMPIAN
MERAJUT BERATUS HARAPAN

PUTRI,
PESONAMU MEMANCAR PENUH KEANGGUNAN
DETAK JANTUNGKU BERDERAK, BERDERIT, MENGGIGIT
MEMBANGUNKAN KEHANGATAN ABADI
SETIAP INSAN YANG MENGENALMU

PUTRI,
SETIAP KALI MATAKU TERPEJAM
KAU MENJELAJAH DI SELASAR BIANGLALA
MELENGGANG SEIRING LAJU ANGIN MALAM
MENEMANI BINAR BINTANG DAN GELAPNYA CAKARAWALA

PUTRI,
BILA KUTERBANGUN PAGI HARI
KAU MENYAMBUT DENGAN SEULAS SENYUM
KAU HADIAHI AKU DENGAN CIUM MESRAHMU
KAU BERMANJA DALAM PELUKANKU

PUTRI,
KAULAH TERCANTIK SESUDAH BUNDAMU
KAULAH LABUHAN YANG TAK KAN PERNAH KUTINGGALKAN
KAULAH PELITA DALAM CERUK KEGELAPAN
KAULAH SURYA CEMERLANG YANG TAKKAN PERNAH INGKAR

PUTRI,
PIPIT MANISKU,
TERBANGLAH
MENEMBUS KEHIDUPAN
PERSEMBAHKAN NUANSA TERBAIKMU

Puisi ini kupersembahkan untuk Pipit Kecilku

ANAKKU

ANAK-ANAKKU,
ADALAH BELAHAN DARI DIRIKU
INGIN KUPATRI DI DADANYA
HANGAT RASA SAYANG PADA SESAMA
INGIN KUCORET DI KENINGNYA
AGAR SELALU INGAT PENCIPTANYA
INGIN KULIHAT GARIS KEHIDUPAN DI TANGANNYA
AGAR TERBENTUK WELAS ASIH
INGIN KUIKAT TULUS KAKINYA
AGAR KOKOH MENGHADAPI HASUT DUNIAWI

ANAK-ANAKKU,
ADALAH MATA HATIKU
SENYUM, CERIA, MATA BERBINAR
MENANGIS, BERTENGKAT, NAKAL, MEMBANGKANG
TERTAWA, TERBAHAK
HARI INI,
ESOK,
LUSA,
SELALU KURINDUKAN.
(25-02-2005)

BELUM SELESAI

Ada sebongkah gundah yang baru saja menyelimuti rasa. Menyelinap diantara relung-relung hati yang terkoyak. Mengelupas rasa perih, pedih akan rasa sakit yang sudah lama mongering. Memutar lagi memori kepenatan yang sudah agak sembuh.
Ruri terdiam di pojok kamar yang tidak berukuran terlalu luas. Tapi ruang itu serba rapi. Sebuah tempat tidur beralas kain merah muda bergambar tokoh kartun Disney, menyiratkan bahwa pemilik tempat tidur itu seorang yang ceria, humoris, dan masih menyelipkan jiwa kekanak-kanakan. Di sebelah kiri tempat tidur sebuah meja kecil dari kayu jati pilihan, warisan dari ayahnya, selalu menemani dikala dia teringat akan ayah tercintanya. Di atasnya terdapat tape recorder plus DVD player yang siap mengalunkan tembang-tembang pilihan hati. Enya, Yani, Richard Clayderman, Kenny G, adalah sebagian dari koleksi popklasik kesukaannya.
Ruri masih terdiam sambil memandang dengan tatapan kosong kearah luar jendela kamarnya, hampir tidak pernah dia perhatikan. Lalu lalang simbok bakul yang lewat di sebelah rumahnyapun tidak mengusik lamunannya. Mata hatinya hanya melayang, menembus kegalauan hati, menyibak perjalanan waktu untuk menemukan lagi ketegaran dirinya. Ketegaran yang sudah lama dia bangun, dia susun dari keeping-keping kehancuran. Dari serpihan-serpihan rasa sakit, yang teramat sakit.
(17-02-2005)
Mengapa kamu datang lagi?
Tidakkah kamu merasa malu untuk jumpa denganku?
Tidakkah kamu merasa menyesal telah meninggalkan guratan-guratan kesedihan?
Rentetan pertanyaan meluncur dari mulut kecil Ruri. Rasa sesak menyelimuti dadanya. Seakan-akan tidak ada lagi udara untuk dia hirup. Sekitarnya terasa gelap, gelap, dan gelap!
Pergi! Pergi! Pergiiiiiiii…….! Teriakan Ruri mengema, memantul dalam ruang kamarnya.
Sunyi, kembali tidak ada suara. Yang terdengar hanya detak detik jam dinding yang tidak mau tahu suasana hati Ruri.

RINDU

RINDU …
Adalah rasa mengebu ingin menyeruak
Rintangan waktu yang telah berlalu

RINDU …
Adalah hasrat ingin memeluk sekali lagi
Kenangan yang telah terhempas
Bersama kerikil di bibir pantai.

RINDU …
Adalah potongan-potongan cerita
Yang ingin kususun menjadi sebuah deret klip
Yang akan kuputar bersama degup jantung menggebu

RINDU …
Adalah sosok yang ingin kulukis kembali
Dengan goresan-goresan lembut
Di atas kanvas binary-binar kehangatan

RINDU …
Adalah pandangan mata
Yang selalu bersemangat dan tersenyum
Bila tanganku memainkan rambut di keningmu.

RINDU …
Tak pernah pupus,
Walau waktu meninggalkanku

SEMUSIM


Di perjalanan ini ada sesuatu yang sempat tertinggal, tetapi ada juga yang lenyap tak berbekas. Menata sesuatu yang terserak seakan satu pekerjaan sulit yang membutuhkan ketelatenan dan kesabaran ekstra. Alangkah senangnya apabila yang terserak segera terkumpul dan menjadi satu lagi. Menjadi sesuatu seperti sedia kala. Sesuatu yang mustahil.
Andai malam yang telah larut bisa kembali seperti sedia kala, melagukan sesuatu yang telah lenyap oleh desiran angin. Andai bulan tampak seperti bulan penuh seperti yang kulihat sebulan lalu. Andai tapak kakiku saat ini seperti yang tampak sebulan lalu. Sesuatu yang tidak mungkin.
Perjalanan hidup seiring dengan perjalanan waktu, dan seiring dengan perjalanan perubahan hati dalam diri manusia. Tak ada sesuatu yang kekal, semuanya berjalan dinamis seiring dengan perubahan yang ada.

SEMUSIM ……
Kulangkahkan kakiku menelusuri jalan berbingkai batu kali, ada seonggok rumput kering tersibak bergerai ditiup angin pagi itu. Jalan berbatu kapur yang kering, tampak basah disana sini karena hujan semalam. Langkah kakiku semakin gontai seiring lagu hatiku yang tersayat waktu yang tak mau menunggu. Kesunyian pagi itu adalah alunan tembang tangis yang tak pernah keluar air mata. Mentari yang siap tersenyum tak mampu mengubah sudut bibirku, tak mampu mengubah sorot mataku, tak mampu mengalihkan degup jatungku, tak mampu menghiburku … .

SEMUSIM ……..
Waktu hanya sesaat. Ada waktu bermula ada waktu berakhir. Ada waktu menatap ada waktu menunduk. Ada waktu bertanya ada waktu menjawab. Ada waktu tertawa dan ada waktu menangis. Ketika awal ada senyum binar-binar semangat dalam mengarungi samudera kehidupan yang penuh dengan bisikan-bisikan yang seharusnya tidak perlu kita dengar. Kalau aku tidak menyadari ingin rasanya yang awal terulang kembali. Kalau aku menjadi manusia egois ingin rasanya mengulang degup jantung yang berdetak keras, ketika menatap mata sayu dihadapanku. Tapi aku harus sadar, awal akhir, menatap menunduk, bertanya menjawab, tertawa menangis, memang harus terjadi, dan aku sebagai manusia yang memang diciptakan untuk menerima, maka harus menerima.

SEMUSIM ……..
Kulanjutkan langkahku. Hingga ujung jalan itu. Matahari kian riang memamerkan hangat di punggungku. Ada sedikit tempat yang longgar dalam batinku, setelah menyadari sesuatu yang memang harus disadari dan diterima.

SEMUSIM ………
Kudendangkan cerita lama
Menuntunku tuk menghayal
Melangkah mencari diri
berkubang

AKU KEMBALI


ADA SESUATU YANG TERTINGGAL DALAM BENAK
MENDERA RAGU MENGGULUNG OMBAK BATIN
MENERPA LINGGAR HATI YANG TIMBUL TENGGELAM
MEMUPUSKAN HARAPAN YANG MELEKAT ERAT
MEMUTUS ERAT MATA RANTAI YANG KIAN KOYAK

SESUATU,
KEMBALI MENJADI SESUATU
SESUATU YANG SELAMA INI MENIMBUN DALAM RELUNG
KUSISIPKAN LAGU BATIN PALING DALAM
DAN YANG TAK PERNAH ADA PAMRIH
TELAH TERKABUL

SESUATU YANG DULU SUNYI
SESUATU YANG DULU PERNAH HAMPA
KINI SATU PERSATU MULAI TIMBUL
DAN MEMENUHI KEINGINAN YANG PALING DALAM
BAHAGIA
YA KEBAHAGIAAN
KEBAHAGIAAN YANG SELAMA INI DIDAMBA
TELAH MENJADI SESUATU YANG TERINDAH

KINI AKU
AKAN MENJADI AKU KEMBALI
AKU YANG SEPERTI DULU
TUGASKU TELAH SELESAI MENDAMPINGIMU
LANTUNAN SEDIKIT DOAKU TELAH TERKABUL
LANTUNAN KATA HATI PALING DALAM TELAH PUPUS
AKU
KEMBALI
SEPERTI
DULU
LAGI

GOODBYE
271204

BIDADARIKU


Bidadariku
Menari lembut di ujung cakrawala
Gemulai tubuhmu membuka mata
Memainkan suasana

Bidadariku
Sentuhan senyummu
Menghadirkan nuansa bahagia
Memoles sepi menjadi sedikit akrab

Bidadariku
Matamu yang tajam
memahat jiwa kerasmu
Tak ada satupun yang dapat mencencangmu
Aku juga tak bisa
Sekali terucap
Selamanya akan selalu kau ingat

Bidadariku
Semangatmu adalah warisan dari bundamu
Yang sudah tergores dalam benak
Selalu, dan selalu kau lakukan
Angin, panas, hujan
Tak ada dalam kamusmu
Yang ada adalah harus
Harus lakukan sesuai dengan inginmu

22 Juni 2007

BILA AKU RINDU



Bila aku rindu. Akan aku bentangkan rasa sayang.
Merindukan suasana, saat-saat kita bersama. Meramu keinginan untuk mengapai cinta. Namun semua itu harus kita sadari. Bahwa rindu hanya sebatas rindu, tidak bisa menyatu, membaur.
Ketika temaram sinar pelangi menyembul diantara pucuk-pucuk pinus. Selimut sepi dan dingin dari hembusan kabut tipis nan nakal, aku telah terjaga. Kupeluk lututku di ujung tenda. Kuperhatikan sekeliling. Sepi. Dengan menahan dingin aku melangkah. Kuhirup kuat-kuat udara nyaman yang tidak pernah aku rasakan ketika berada di kota. Aku berlari-lari kecil didepan jajaran tenda sambil menggerak-gerakkan tangan kesamping kanan, kiri juga ke atas ke bawah.

Ketika senyum harus aku lihat
Ketika sapuan mata indah harus aku nikmati
Kuraih harapan semu yang terbentang
Aku tersenyum sendiri
Aku berlari, dan berlari
Namun, aku tak kuasa .......

Kemudian, suasana mejadi riuh, penghuni tenda satu persatu menyembulkan kepalanya. Kebanyakan bersedekap menahan udara dingin. Ada yang menguap, seakan enggan meninggalkan kantuknya. Kepenatan tampak diwajah mereka. Walau begitu masih ada gurat-gurat kegembiraan sisa kegiatan malam tadi. Malam yang hening. Malam di hutan pinus nan molek. Ada rasa takut berteman dengan sunyi. Ada rasa sedih berteman dengan gelap. Namun semua itu bisa terlewati, walau ada satu dua yang stress.

Pritttttt ........
Suara peluit membangunkan lamunanku

Kupandang
Kunikmati
Kuhayati
Kau berdiri dengan anggun
Balutan kaos putih lengan panjang
Menebar pesona
Aku tak ingkari ....

Semua membentuk barisan berjajar empat. Yang paling depan ujung kiri mulai menghitung. Sampai di ujung kanan berkata "pas". "Pagi ini adalah hari terakhir kita berkemah. Kemasi barang kalian, jangan sampai ada yang tertinggal. Saya minta ada beberapa anak yang membantu mengemasi tenda dan peralatan yang lain". Barisan bubar. Berebut masuk tenda masing-masing.

Tak kusangka
Aku bisa tersenyum demikian bebas
Aku genggam anganku
Aku simpan mimpiku
Aku sembunyikan harapku
Nanti

21 Juni 2007

PAGI TADI

Pagi tadi
Ketika temaram lampu jalan sudah dimatikan oleh petugas
Aku sudah mengukur panjang jalan yang biasa aku lalui
Tak ada yang baru. Semua seperti biasa.
Jalan masih sepi. Angin membelai wajahku. Terasa dingin menusuk kulit.
Tak seperti biasanya, pagi ini dingin.
Sampai di perempatan jalan, aku berhenti karena diberhentikan lampu merah.
Ya, memang manusia harus patuh pada lampu lalu lintas yang berwarna merah ini
Di sisi kananku berjajar pohon-pohon perdu, tanaman hias yang segar dipandang.
Di sisi kanankusebuah mobil sedan toyota tampak wah! bagi aku yang kere ini.
Dari kaca spion aku perhatikan wajah manis dibalik helm warna merah yang serasi dengan Yamaha Mio.
Koran ... koran ...!!
Seorang anak usia baya, sekitar kelas 3 atau 4 SD lalu lalang di hadapanku.
Koran om, dia menyodorkan sebuah koran Jawa Pos. Maaf Dik! kataku.
Koran ... koran ...!!
Si anak itu mendatangi sedan di sebelahku.
Koran pak? Si sopir memandang anak itu sambil menggelengkan kepala, yang matanya masih asyik melihat tayangan kartun di sebuah televisi plasma di dashboard.
Mbak koran dong? Dengan wajah memelas si anak itu mendatangi nona manis di belakangku.
Saya minta satu koran Jawa Posnya, kata si nona itu. Dia mengambil lembaran uang lima ribuan dari dalam tas kulit yang juga berwarna merah. Mbak ini kemablinya, tambah si anak koran tadi. Untuk adik saja, balas si nona. Terima kasih mbak. Senyum kecil terhias di wajah anak itu.
Koran ... koran ...!!
Lampu hijau memaksaku melanjutkan perjalanan ....

WAKTUKU TELAH TIBA

Saat ini

di saat ini

waktu ini

di hari ini

di detik ini

aku telah tiba

mimpiku melayang menggapai awan

kutelusuri setapak demi setapak

kuayunkan langkahku

kugapai, yang bisa kugapai

kuraih yang bisa kuraih

kuambil yang bisa kuambil

.....................

aku tersenyum

memandangmu, tuk pertama kali

goresan raut mukamu

sederhana, dengan balutan apa adanya

.....................

aku merenung

inikah yang ingin kucapai?

sudah tuntaskan perjalananku?

.....................

sekali lagi aku tersenyum

masih panjang apa yang ingin kulalui

masih banyak harapan yang ingin kuraih

masih banyak .............