21 Januari 2020

Sagra - Oka Rusmini

Apakah hidup akan menyisakan sepotong kecil,
Seukuran kuku kelingking, sedikit saja,
Keinginanku yang bisa kutanam dan kusimpan sendiri?
Hyang Widhi, apakah sebagai perempuan aku terlalu loba, tamak,
Sehingga Kau pun tak mengizinkanku
Memiliki impian?
Apakah Kau laki-laki? Sehingga tak pernah
Kaupahami keinginan dan bahasa perempuan
Sepertiku?

ESENSI NOBELIA
                Menceritakan tentang suami istri yang sama-sama penyair. Mereka mempunyai anak, Nobelia Prameswari. Lima tahun, mereka melewati masa-masa sulit. Walaupun begitu, suaminya, Rifaset tetap tidak mau dibantu keluarganya. Baginya apapun yang mendera mereka baik bahagia maupun senang akan ditanggung berdua.
                Kedua suami istri itu tidak mempunyai penghasilan tetap. Uang baru mereka terima, bila hasil karya mereka bisa diterbitkan. Tetapi semenjak ada Nobelia Prameswari, putri pertama mereka, maka mereka mulai berfikir tetang keinginan dan masa depan.
                Pada akhirnya Rifaset mendapatkan pekerjaan sebagi penyunting buku filsafat dan seni di sebuah penerbitan. Dengan pekerjaan tersebut sedikit banyak bisa membantu asap dapur bisa mengepul.
                Dikisahkan juga Sobrah, tetangga yang sangat  sayang dan perhatian pada Nobelia. Akhir-akhir ini terjadi keanehan pada Nobelia. Bila diberi makan, Nobelia hanya melihat dan memperhatikan saja, tanpa menyentuhnya.  Dan mulutnya keluar kata ‘esensi’.  Hal tersebut terjadi juga, ketika Nobelia diajak orang tuanya ke restoran. Ketika makanan disajikan, Nobelia hanya diam. Matanya melotot, berkonsentrasi, melihat makanan tersebut. Tanpa ekspresi.  Dari mulutnya keluar kata ‘esensi’.
                “Menjadi penyair juga harus bisa berdiri antara realita dan imajinasi”

HARGA SEORANG PEREMPUAN
                Cerpen ini menceritakan pola tingkah ibu-ibu pejabat, yang mendapat warisan nama dari suaminya yang benar-benar seorang pejabat. Segala tingkah laku ibu-ibu pejabat di Indonesia, penuh kebohongan. Dalam kacamata mereka, bahwa sosok ibu pejabat itu harus sempurna. Kesempurnaan mereka tidak boleh ada yang menyamai atau menandingi. Harus eksklusif. Lain dari pada yang lain. Menyanjung dengan kata-kata manis dan menjunjung adalah sebuah keharusan bagi ibu-ibu pejabat yang lebih rendah. Kalau dalam khasanah bapak pejabat ada istilah ABS (Asal Bapak Senang), maka dalam lingkungan ibu-ibu pejabat ada istilah AIS (Asal Ibu Senang). Sebuah kebohongan jamaah atau bisa dikatakan kemunafikan.
                Ada satu kebiasaan yang kadang dilakukan oleh ibu pejabat. Sudah seharusnya ibu pejabat itu orang nomor satu yang harus memberikan contoh baik. Misalnya kalau ada slogan harus menjunjung hasil karya bangsa sendiri, maka seharusnya ibu pejabat yang menjadi contoh. Hanya kadang ibu pejabat itu memakai pakaian tradisional Indonesia, benar, kain dari Indonesia, tapi desaigner dari luar negeri. Benar memakai parfum, harum-haruman dari khasanah pepohonan Indonesia, kayu wangi, rerumputan, dll, tapi belinya di Paris. Sama juga bohong! Kebohongan, kepalsuan, selalu mengular di lingkaran kehidupan sosial ibu-ibu pejabat, dengan satu tujuan bisa mempertahankan jabatan yang dimiliki suaminya.
                Pada akhir cerita, ibu pejabat mendapat tamparan manis, tidak terlalu keras dari pembantunya. Batur. Bahwa pembantunya tidak ingin menjadi pejabat seperti ibu pejabat. Dia beranggapan dan melihat kenyataan bahwa hidup ibu pejabat penuh kepalsuan. Dia lebih senang menjadi diri sendiri. Walaupun hanya tamatan SD dan harus hidup di desa, tetapi dirinya tidak pernah hidup dalam kebohongan. Dia menikmati hidup apa adanya.
                Saya bahagia menjadi diri saya sendiri.

SEPOTONG KAKI
                Menceritakan tentang seorang penari yang bernama Ida Putu Centaga Nareswari, yang dilahirkan oleh Ni Luh Rubag, perempuan biasa, perempuan sudra. Centaga adalah penari yang hanya mempunyai satu kaki, tetapi dia sangat dikagumi banyak laki-laki.
                Centaga lebih dekat dengan ibunya. Ayahnya tidak pernah memperhatikannya. Ayahnya sedang sakit. Kadang kalau sedang kumat, ayahnya sering membuat onar. Orang banyak yang takut. Suka berteriak-teriak dan melempar benda apa pun yang ada di dekatnya. Kata dukun, ayahnya kemasukan roh pemilih griya yang mereka tempati saat ini.
                Centaga pernah diragukan kemampuan menarinya, hanya karena dia mempunyai satu kaki. Tetapi karena kegigihan Luh Karni dalam membimbing, akhirnya Centaga menjadi seorang penari. Walaupun begitu, dia tetap tidak diperbolehkan menari Rejang, saat upacara besar. Kata banyak orang kalau dia menari, akan banyak membawa sial, kesengsaraan di desa itu.
                Aku, Centaga, melihat dan berfikir dengan hati. Dengan sigap, dipotonglah kaki kirinya. Dengan demikian, dia berharap tidak ada seorang laki-laki pun yang menyukainya. Baginya, banyak orang laki menyukainya karena kemolekan kakinya, bukan dirinya. Dia menginginkan laki-laki menyukai dirinya karena apa adanya.

PESTA TUBUH
                Cerpen “Pesta Tubuh”, menceritakan penderitaan wanita-wanita kecil pada masa penjajahan Jepang di Bali. Tubuh mereka dijadikan santapan para serdadu Jepang yang sudah haus nafsu. Mereka sudah tidak lagi bisa disebut sebagai manusia. Apa yang ada dihadapannya, dimakan dengan lahap tanpa menghiraukan bahwa wanita itu masih berusia 10 atau 15 tahun. Setiap hari penderitaan itu berlangsung, bahkan setiap wanita kecil itu harus melayani 5 sampai 10 serdadu Jepang setiap hari, tanpa mendapat kesempatan waktu istirahat. Istirahat hanya berupa helaan sejenak hanya untuk sekadar bernafas, dan mengeliat, menggerakkan tubuh mereka yang kecil. Bagi yang tidak bisa mempertahankan diri, apalagi sudah terkena penyakit, akhirnya dibuang atau dibiarkan penyakit menggerogoti tubuh mereka yang pada akhirnya, ajal menjemputnya.

API SITA
                Sebuah cerpen yang mengisahkan seorang perempuan bernama Ni Luh Putu Sita. Ibunya adalah perempuan biasa, perempuan sudra yang bernama Luh Sagrep. Tetapi yang membuat pertanyaan adalah Luh Sagrep di desa Gombreng sangat disegani dan dihormati oleh siapa pun, bahkan oleh kaum Brahmana. Melihat hal yang demikian Sita sempat bertanya kepada Sawer. Tetapi anehnya Sawer yang seharusnya tahu tentang ibunya, tidak berani untuk bercerita. Konon Luh Sagrep adalah wanita pejuang yang sangat berjasa bagi perjuangan di Bali. Dia mengorbankan dirinya, badanya dinikmati oleh kaum penjajah, dengan imbalan memperoleh berbagai informasi tentang keberadaan gudang senjata atau rencana untuk menyerang. Semua informasi itu dia berikan kepada para pejuang. Bahkan suaminya sendiri dia bunuh, karena tidak setuju dengan perbuatan Luh Sagrep. Pada akhirnya Luh Sagrep tertangkap Belanda, setelah berhasil membunuh komandan Belanda. Hanya pengorbanan Luh Sagrep harus dibayar mahal, desa Gombreng diberhangus, dan banyak rakyat desa itu yang dibunuh. 
                Sepeninggalan ibunya, Sita sendiri mengikuti jejak ibunya. Dia menjadi seorang pejuang di belakang layar, yaitu tetap memberikan tubuhnya untuk pasukan Jepang. Tetapi karena merasa dikhianati oleh Sawer, maka Sawer dia bunuh, selanjutnya dia bunuh diri.

SAGRA
                ....


CATATAN KECIL
                Oka Rusmini dalam Sagra, mempunyai alur cerita yang agak rumit, sehingga bagi pembaca pemula yang ingin menikmati alur apa adanya, alur konvensional akan sedikit mengalami kesulitan. Lebih dari itu Sagra menyuguhkan sisi wanita di masyarakat Bali yang mungkin tidak didapatkan di daerah lain di Indonesia. Keunikan wanita Bali, sisi menarik wanita Bali dan sensualitas wanita Bali tergambar dari budaya dan kebiasaan masyarakat Bali.
                Mencoba memaknai alur cerita harus secara keseluruhan membaca sampai tuntas. Sebab kalau hanya membaca bagian per bagian tidak akan menemukan esensi dari kata-kata yang terangkai menjadi kalimat.
Orang-orang tidak bisa lagi membuatkan aku tempat. Aku bersaing dengan bayang-bayangku sendiri. Aku bergulat dengan tubuhku sendiri. Aku berpikir tentang sesuatu yang kosong. Nihil semua, Ibu. Aku ditempatkan di lorong-lorong kesucian. Kata mereka, aku adalah penyubur dan penjaga akar kesunyian. Lihat, Ibu. Apa yang berada dalam genggaman tanganku? Kebesaran dan rahasia negeri ini (Hal.43).
                Sagra juga menyuguhkan panorama masyarakat Bali yang masih kental dengan adat istiadatnya serta tradisi keagamaan, walaupun modernitas dan suasana global terus menerjang. Sedang pilihan kata yang dihadirkan cenderung gambaran wanita Bali yang keras.
                Aku sering jengkel apabila laki-laki yang telah kunikahi puluhan tahun itu mulai menjejalkan dirinya berebut ruangan yang sempit (Hal. 34)
Aku melirik lelakiku. Bau napasnya hampir meledakkan tubuhku (Hal.46)
                Bila pembaca, sudah sampai pada cerpen Sagra  yang menjadi judul kumpulan cerpen ini,  pembaca akan menemukan suasana lain yang lebih bersahabat dalam hal alur cerita. Dalam Sagra, pemilihan alur mengalir dengan deras, walaupun ciri khas Oka tidak pernah ditinggalkan. Pilihan-pilihan kata yang menerjang dan tegas, masih menghiasi cerpen-cerpen selanjutnya. Bila pembaca sudah terbiasa dengan ruang gerak kata dan dinamika kalimat yang diciptakan oleh Oka, pembaca bisa melanjutkan karya Oka yang lain, misalnya “Tempurung” atau “Kenanga”.  Selamat membaca!

Gadis Tangsi - Suparto Brata

Pertama (Hal.1)
                Teyi adalah gadis kecil, sebagai tokoh sentral dalam novel “Gadis Tangsi”. Ayah Teyi adalah seorang serdadu yang bekerja di tangsi Belanda. Wongsodirjo, adalah nama ayahnya. Ketika kecil bernama Suratman.  Pangkat ayahnya adalah sersan kepala. Ibunya bernama  Raminem. Sosok seorang ibu, pekerja keras, ulet, dan selalu mengajari Teyi untuk bekerja keras. Raminem sosok wanita yang tidak mau diremehkan orang lain. Cita-citanya ingin menjadi orang kaya, agar tidak selalu dicaci maki karena kemelaratannya. Selain itu Raminem adalah wanita yang tegas dan dalam bekerja tepat waktu. Adik Teyi adalah Tumpi.
                Pada bagian pertama ini dikisahkan kehidupan sehari-hari keluarga Teyi di tangsi Belanda. Setiap hari Raminem membuat pisang goreng. Sedangkan Teyi kecil yang menjajakan pisang goreng tersebut keliling Tangsi. Tidak seperti anak sebayanya, Teyi oleh ibunya diberi tanggung jawab mulai dari menemani membeli pisang, membuat pisang goreng, menjajakan, serta menagih orang yang berhutang pada ibunya. Di samping sebagai pedagang pisang goreng, Ibu Teyi juga menerima barang gadai dan meminjamkan uang dengan bunga.
                Raminem beranggapan bahwa untuk meraih kesuksesan dan disegani orang harus melalui tiga tahap dengan urutan yang benar, yaitu setiap orang harus mempunyai kepandaian. Dari kepandaian tersebut, maka dengan mudah akan meraih kekayaan, yang pada akhirnya kekuasaan dapat datang dengan sendirinya.
                Setelah selesai melaksanakan tugas dari ibunya Teyi akhirnya bisa bersama dengan teman-temannya bermain. Jemini, Keminik, Ceplik dan Suwarti sudah berkumpul di bawah pohon mangga besar. Di situ juga ada beberapa anak laki-laki, Sumbing, Kamdi, dan Gepeng. Ternyata mereka tidak bermain bersama. Terjadi pertengkaran antara Keminik dan Sumbing. Mereka bergumul, sebelum Keminik kalah, Sumbing sempat digigit kupingnya oleh Teyik.  Berikutnya terjadi perkelahian antara Teyi dan Kamdi, karena Teyi diolok-olok akan dijodohkan dengan Kang Darmin. Hal itu sangat menjijikkan bagi Teyi. Teyi sempat dipiting oleh Kamdi dan tidak bisa bergerak. Ketika ada kesempatan, tangan Teyi meremas kemaluan Kamdi yang mengakibatkan tangan Kamdi kendor, dan Teyi pun terlepas. Semua anak tertawa, termasuk Teyi juga, melihat Kamdi berjingkrak-jingkrak sambil memegang kemaluannya.
                Suparto Brata yang asli orang Surabaya, dalam Gadis Tangsi sesekali menyelipkan bahasa Suroboyoan yang kasar, yang memang tidak bisa terlepas dari jati dirinya.
Untuk menjejali perutmu, biar kenyang! (Hal.7)
Sudarmin dinilai Teyi sangat goblok (Hal.8)
“Bajingan!” Hanya itu umpatnya. Sudarmin memang laki-laki yang menyebalkan. (Hal.9)
“Sana minggat sana! Cari makan di seberang lautan sana! (hal.16)
“Ooo anumu bedhah! Bajingan! Tampangmu seperti anumu begitu, berani-beraninya main fitnah!” (Hal.27).
“Tutup mulutmu, sontoloyo betina!”  (Hal.40)
“Aja angger njeplak kowe ya!” Keminik membentak dengan kasar. (Hal.40)
Di samping itu penggunaan nama-nama tokoh terkesan Jawa banget. Dan bisa diartikan bahwa tokoh-tokoh tersebut dari kalangan bawah, dalam strata ekonomi dan pendidikan.

Kedua (Hal.33)
                Suatu hari terjadi pemeriksaan di tangsi oleh komandan baru, Kapten Sarjubehi yang diikuti oleh Sersan Suradigdaya. Mereka berdua keliling dari bilik ke bilik. Sampai di bilik Raminem, Kapten Sarjubehi menegur Raminem bahwa tidak boleh memasak di bilik, itu berbahaya apabila terjadi kebakaran. Tangsi sudah menyediakan dapur umum, seharusnya Raminem memasak di dapur umum. Raminem mencoba memberi alasan, bahwa pisang yang digoreng tinggal sedikit, namun sang kapten tidak mau tahu. Saat itu juga harus dipindah ke dapur umum, dan suaminya akan di panggil ke markas untuk dimintai keterangannya. Wongsodirjo sempat dongkol juga dengan sikap istrinya. Sebelumnya sudah diberitahu bahwa kalau mau memasak di dapur umum saja. Dasar Raminem sukanya ngeyel, tidak mau nurut.
                Setelah membantu emaknya mengangkuti semua peralatan memasak di dapur umum, Teyi bisa bermain bersama teman-temannya. Dari beberapa temannya yang paling tua adalah Keminik. Keminik sering bercerita tentang kedewasaan dan hal-hal dewasa yang seharusnya belum boleh mereka bicarakan. Tapi dasar masih anak-anak, setelah mendengar Keminik bercerita mereka tertawa renyah.
                Setiap tanggal lima ditangsi ada pemandangan unik. Pagi-pagi sudah banyak orang antre. Biasanya anak-anak dan ibu-ibu. Kegiatan tersebut terkenal dengan sebutan antre sarden. Karena hari itu mereka mendapat kupon untuk mengambil makanan tambahan di gudang. Dan kadang di bulan puasa tiap penghuni tangsi akan mendapat kain cita dua lembar, untuk prajurit dan istrinya.
                Tentang Tesek, tetangga mereka yang suka berjudi, dan kadang menang, yang akhirnya bisa membeli perhiasan, baju, dan mendadak menjadi orang kaya. Bagi Raminem bahwa untuk menjadi orang kaya itu ya harus bekerja, bekerja, dan bekerja. Kalau seperti Tesek itu kaya mendadak, dan akan menjadi miskin juga mendadak. Begitu Raminem memberi penjelasan kepada anaknya, Teyi. Tidak ada orang berjudi bisa menjadi kaya, bahkan Raminem menjelaskan  bahwa ayah Teyi dulu juga pernah suka berjudi, untung bisa meninggalkan pekerjaan yang menyesatkan itu.
               
Ketiga (Hal.52)
                Hari itu Raminem goreng pisang banyak sekali. Tidak seperti hari-hari biasanya. Sempat Teyi protes kepada emaknya. Sebab dengan goreng pisang sebanyak itu, kalau nanti tidak laku, maka Teyi pula yang akan keliling untuk menjajakan. Dan itu merupakan pekerjaan tambahan bagi Teyi, sehingga peluang untuk bermain tidak ada lagi. Kadang Teyi juga mengeluh, dia sudah membanting tulang, bekerja keras, tapi emaknya tidak mempunyai belas kasih kepadanya. Emaknya selalu dan selalu menyuruh Teyi untuk membantu memperoleh uang.
                Seperti dugaan Teyi, siang itu pisang goreng tidak habis. Alhasil Teyi harus keliling tangsi untuk menjual pisang goreng. Sampai sesiang itu pisang goreng Teyi belum habis. Masih tersisa delapan biji. Teyi tidak berani pulang. Takut dimarahi emaknya, dan lagi pasti Teyi tetap disuruh keliling tangsi lagi untuk menjual sisa pisang goreng sampai habis. Karena itu ia malas pulang. Sedangkan Teyi tidak boleh menjual di luar tangsi.
                Teyi sudah jengkel dengan keadaan hari itu. Teyi keluar dari tangsi, berjalan terus dan akhirnya sampai di Medan. Seumur-umur, baru hari itu Teyi di kota besar. Teyi masuk ke sebuah toko dan tertarik untuk membeli pita rambut. Tetapi malang baginya, dia ditangkap polisi belanda dan dibawa ke markas. Segala alasan yang disampaikan Teyi tidak didengarkan. Teyi dituduh hendak mencuri pita rambut yang saat itu dipegangnya. Padahal Teyi ingin membeli. Di kantor polisi, sempat terjadi miskomunikasi, karena polisi tidak bisa berbahasa melayu. Setelah ada penterjemah, dan Teyi menjelaskan alamat rumahnya, maka Teyi diantar komandan polisi naik mobil menuju ke tangsi. Teyi senang dan bangga bukan main. Dia bisa naik mobil, apalagi diantar komandan polisi belanda. Sampai di tangsi orang sudah ramai di markas. Mereka berkumpul di situ, karena mendengar Teyi hilang. Mobil datang, Teyi turun dari mobil diiringi komandan belanda, semua mata memandang. Teyi berjalan dengan penuh kebanggaan. Dan emaknya langsung merangkulnya berurai air mata.

Keempat (Hal.69)
Berlanjut .....!!

Canting - Arswendo Atmowiloto



                Canting adalah salah satu karya berupa novel dari Arswendo Atmowiloto. Karya dengan latar belakang budaya dan masyarakat Jawa. Utamanya dengan setting kaum bangsawan atau kaum keraton.
Dikisahkan kehidupan Raden Ngabehi Sestrokusumo yang mempunyai usaha batik di rumahnya, Ndalem Ngaben Sestrokusuman. Pak Bei mempunyai istri yang biasa dipanggil Bu Bei. Bu Bei adalah tipe wanita Jawa yang ulet, pekerja keras dan ngabekti pada suami. Bu Beilah yang menjalankan usaha batik. Suami istri tersebut dikaruniai lima orang anak. Pertama, Wahyu Dewabrata, kedua Lintang Dewanti, ketiga Ismaya Dewakusuma, keempat Bayu Dewasunu, dan yang bungsu Wening Dewanti. Sedangkan di rumah itu terdapat beberapa orang abdi dalem atau mungkin bisa disebut pembantu atau babu. Jimin, bertanggung jawab untuk memelihara ikan Maskoki, segala tanaman di rumah tersebut serta ayam hutan dan beberapa burung perkutut. Yu Kerti bertanggung jawab untuk menyiapkan makanan setiap harinya, Sedangkan yang mengurus cucian adalah Mbok Tuwuh.
                Kalangan ningrat mempunyai kebiasaan pada malam Jumat Kliwon untuk berkumpul. Setiap istri harus tahu dan rela untuk melepas suaminya semalam suntuk tanpa alasan. Kumpul-kumpul tersebut awalnya diadakan di lingkungan keraton, tetapi banyak masyarakat di sekitar yang protes, karena dianggap pesta-pesta tersebut menyakitkan hati rakyat, yang saat itu berada di lingkaran kemiskinan. Menyadari hal tersebut, maka atas inisiatif Pak Bei pertemuan kebudayaan yang dikemas dengan nama Nguri-Uri Kabudayan Jawi tersebut dilaksanakan di Taman Ronggowarsito, Njurug, di tepi Bengawan Solo. Hanya saja tetenger berbalur kebudayaan tersebut tidak nampak dalam kegiatan mereka. Ningrat yang kumpul mempunyai kebiasaan buruk, yaitu meneguk minuman keras (arak), dan main perempuan. Jadi jauh dari kegiatan kebudayaan.  
                Pada bagian berikutnya diceritakan tentang Pasar Klewer. Bu Bei dibantu Yu Tun dan Yu Mi, mulai menata batin dagangan. Geliat Pasa Klewer sudah dimulai sejak pagi. Sudah banyak pedagang yang mengais rezeki di pasar ini. Tidak hanya pedagang, buruh angkut, tukang becak dan tukang sapu pun kebagian rezeki. Perputaran uang mencapai ratusan bahkan jutaan di pasar rakyat ini. Segala strata kehidupan, jabatan, ketika sudah masuk ke pasar ini, sudah tidak berlaku. Yang ada hanya penjual dan pembeli. Keduanya mempunyai kedudukan yang sama.
                Kilas balik, diceritakan bagaimana rasa sayangnya Bu Bei pada anak pertamanya. Anak lanang, Wahyu Dewabrata. Sebuah kebanggaan bagi istri bisa mempersembahkan anak pertama laki-laki. Dan sebuah kebanggaan juga pada Pak Bei. Rasa sayang Bu Bei yang kelewat sampai protektif pada anak lanangnya. Suatu ketika Wahyu menghilangkan cincin pemberian ayahnya. Ketika memberitahu Pak Bei, wahyu dimarahi habis-habisan. Wahyu dianggap tidak bisa bertanggung jawab. Namun, Bu Bei dengan sabar membela anaknya, bahkan membelikan cincin baru lagi untuk Wahyu. Kejadian seperti ini terjadi lagi, ketika Wahyu menabrak orang dan harus berurusan dengan polisi. Bu Bei jugalah yang menyelesaikan permasalahan ini.
                Saat usia Wening sudah sebelas tahun , ternyata Bu Bei hamil lagi. Pak Bei sempat curiga, bahwa yang dikandung Bu Bei adalah bukan anaknya. Bu Bei menunggu dan menunggu kepastian yang akan disampaikan oleh Pak Bei. Kalaupun harus keluar dari rumah, Bu Bei akan menuruti tanpa ada alasan untuk membangkang. Apapun yang menjadi keputusan suaminya adalah mutlak. Sebagai istri hanya nurut kata suami. Tetapi pada akhirnya sampai bayi lahir dan diberi nama Subandini Dewaputri Sestrokusuma, Pak Bei tidak pernah mempermasalahkan kehamilan Bu Bei.
                Setiap kali pak Bei berulang tahun seluruh anak, menantu dan cucu-cucunya akan hadir. Demikian ketika pak Bei ulang tahun di usia ke 64, seluruh anaknya, menantu, dan cucu-cucunya hadir. Semua anaknya telah menikah, kecuali Subandini atau biasa dipanggil Ni. Saat itu Ni sudah lulus sarjana, juga sudah mempunyai pacar, Himawan. Namun Ni masih belum mau membina rumah tanggal. Hal itu menjadi kecemasan bagi orang tua dan kakak-kakaknya. Sebab Ni sendiri mempunyai cita-cita yang akan disampaikan langsung dihadapan kedua orang tuanya dan kakaknya.
                Saat pertemuan keluarga, Ni berkesempatan menyampaikan keinginannnya untuk melanjutkan usaha batik “Canting”. Namun, karena keinginannya itulah membuat bu Bei langsung jatuh sakit dan harus dibawa ke rumah sakit. Tidak berapa lama sakit bu Bei tidak kunjung sembuh, yang pada akhirnya bu Bei wafat. Niat Ni sudah bulat bahwa dia ingin melanjutkan usaha batik milik keluarganya. Walaupun dia menyadari bahwa dirinya tidak tahu menahu tentang dunia batik. Bahkan untuk membedakan jenis canting saja tidak bisa. Banyak yang ingin diperbuat Ni dalam perusahaan batik milik keluarganya tersebut. Terlebih dia melihat ketimpangan selama ini. Banyak abdi dalam yang notabene menjadi pekerja batik, hidupnya belum baik. Walaupun kenyataannya, pekerja batik tersebut tidak menuntut banyak. Bagi mereka bisa mengabdi di rumah pak Bei merupakan sebuah kehormatan, merupakan sebuah kebanggaan. Bisa untuk hidup, makan dan sedikit sandang bagi mereka sudah cukup. Untuk niatnya tersebut Ni sampai harus mengorbankan jauh dari Himawan, tidak membuka apotek, bahkan ketika perusahaan batik “Canting” di ujung kebangkrutan, Ni rela menjual rumahnya di Semarang.
                Perusahaan batik “Canting” lambat laun tidak bisa dipertahankan, tergerus dengan perkembangan zaman dan teknologi. Memang batik Canting mempunyai kualitas tinggi karena dikerjakan dengan cara tradisional, memakai bahan dengan kualitas bagus, dan dikerjakan dengan cermat dengan hati ikhlas. Tapi semua itu tidak bisa untuk menghidupkan Canting, zaman sudah berubah, dengan teknologi printing, hari ini cetak dan hari ini pula batik bisa dijual dalam jumlah banyak. Demikian pula, pengguna atau konsumen batik tidak pernah lagi melihat kualitas batik. Bagi mereka yang penting bisa memakai batik, itu sudah lebih dari cukup. Kenyataan seperti itu yang tidak bisa diterima oleh Ni, yang apda akhirnya Ni sakit. Keadaan Ni menjadi beban sendiri bagi kakak-kakaknya, terlebih bagi pak Bei. Bahkan seumur-umur, baru pertama kali pak Bei menangis ketika melihat keadaan anak bungsunya yang terkulai tak berdaya.
                Canting sudah tidak mungkin lagi hidup. Canting tetap menjadi canting walaupun tidak digunakan membatik. Agar para pekerja batik Canting tetap bisa menghidupi keluarganya, akhirnya perusahaan batik Canting tetap memproduksi batik tapi dengan menanggalkan cap Canting.

Refleksi :
Novel Canting adalah gambaran tentang kehidupan di masyarakat kita. Dengan latar budaya Jawa, Arswendo mencoba membuka mata hati kita, bahwa untuk mempertahankan budaya yang telah kita miliki di tengah gerusan modernisasi adalah upaya yang sulit. Terlebih tidak dibarengi rasa andarbeni dalam diri kita. Bila budaya kita satu demi satu hilang, dan sebagai pemilik budaya kita tidak mau berusaha untuk andarbeni, suatu saat kita tidak akan mempunyai budaya. Sebuah negara, sebuah bangsa tanpa budaya tidak layak disebut sebagai negara sekaligus sebagai bangsa.

Mata yang Enak Dipandang - Ahmad Tohari



                Ahmad Tohari, dalam kumpulan cerpen “Mata yang Enak Dipandang” menyajikan lima belas cerpen. Cerpen pertama yang dihadirkan juga berjudul sama yaitu “Mata yang Enak Dipandang”, yang pernah diterbitkan di Kompas, pada tahun 1991. Cerpen ini mengisahkan  kehidupan kaum papa, kaum miskin, yang merupakan ciri khas karya Ahmad Tohari. Dikisahkan Mirta adalah pengemis tua buta yang terus menerus diperas oleh Tarsa, yang biasa menuntunnya. Suatu hari Mirta dituntun ke stasiun dengan tujuan mengemis. Tapi  Mirta dalam keadaan sakit. Hal itu tidak dihiraukan oleh Tarsa. Tarsa tetap saja memaksa agar Mirta mengemis di stasiun. Saat menunggu kereta kelas tiga ternyata keadaan Mirta semakin parah, dan pada akhirnya Mirta menghembuskan nafas terakhir.
                Cerpen kedua “ Bila Jebris Ada di Rumah Kami”. Cerpen ini juga pernah dimuat di Majalah Kartini Tahun 1991. Cerpen ini mengisahkan, tokoh utama Jebris yang berprofesi sebagai pelacur. Jebris adalah teman akrab Sar. Sedang Sar adalah istri dari Ratib. Ratib adalah orang yang paling disegani di sudut dusun tersebut, karena Ratib menjadi imam Surau di dekat rumah mereka dan sebagai ketua seksi pembinaan rohani dalam kepengurusan RT. Melihat Jebris demikian, Sar sudah sering menasehati. Namun Jebris bergeming, dia tetap menjalankan profesinya. Hal tersebut mungkin karena himpitan ekonomi yang mengharuskan Jebris menghidupi satu anaknya dan bapaknya yang sudah tua. Semenjak diceraikan oleh suaminya seorang pedagang besar memang demikian kehidupan Jebris. Sempat ada itikat baik dari Ratib yang disampaikan kepada Sar. Bagaimana kalau Jebris bekerja di rumah mereka?
                Cerpen ketiga “Penipu Keempat”, pernah dimuat di Kompas tahun 1991. Diceritakan tokoh aku dalam sehari ditipu empat orang. Penipu pertama, seorang bapak yang mengaku tidak punya ongkos pulang ke Cikokol karena anaknya sakit. Penipu kedua, seorang perempuan yang mengaku dari sebuah yayasan pemelihara anak-anak yatim piatu di Banyuwangi yang meminta sumbangan. Penipu ketiga, seorang lelaki yang berjualan kemucing dan pisau dapur yang katanya buatan anak-anak penyandang cacat di Solo. Tokoh aku begitu menikmati permainan drama ketiga penipu tersebut. Bahkan tokoh aku pergi ke pasar hendak melihat penipu ketiga melakukan aksinya. Dan di pasar tokoh aku bertemu dengan penipu ketiga, yang juga berusaha menipunya lagi. Sebuah sarkasme kehidupan yang biasa kita nikmati dalam kehidupan nyata. Sudah tidak ada lagi rasa malu dan miskin sisi kemanusiaan.
                Daruan adalah cerpen keempat. Pernah dimuat di Kompas tahun 1990. Menceritakan tentang suka duka pengarang pemula. Daruan adalah seorang penulis pemula yang berusaha mencari jati diri dalam hal kepenulisan. Dengan semangat dan idealismenya, Daruan berusaha menaklukkan kenyataan yang ada di masyarakat. Berulang kali Daruan menawarkan hasil karyanya. Namun tak kunjung berhasil. Sampai pada suatu saat karya Daruan diterbitkan oleh Muji, temannya. Hanya sayang, Daruan harus menerima kenyataan pahit. Walaupun karyanya sudah diterbitkan, tetapi tidak mampu bersaing dengan pengarang dan penerbit besar. Walhasil, karyanya tidak laku.
                Cerpen kelima “Penajem”. Sebuah cerpen yang menceritakan tentang Kartawi yang mempunyai istri Jum. Kehidupan Kartawi awalnya tidak begitu sejahtera. Tetapi setelah Jum istrinya membuka warung lambat laun ekonomi keluarga Kartawi semakin baik. Hanya sayang Jum melakukan sebuah kesalahan fatal, yaitu dia mencari penglaris, dengan menggadaikan kehormatannya sebagai seorang istri. Memberikan sesuatu yang diminta oleh dukun, yang biasa disebut penajem. Melihat kenyataan seperti itu Kartawi marah, dan mencoba lari dari kenyataan. Tetapi pada akhirnya Kartawi harus kembali kepada anak dan istrinya. Kehidupan Kartawi seperti buah simalakama.
                Paman Doblo Merobek Layang-Layang, cerpen keenam. Menceritakan tokoh utama Doblo yang biasa disebut Paman Doblo, mempunyai sifat yang baik, suka menolong dan suka berteman dengan anak-anak. Hanya karena tuntutan tanggung jawab pekerjaan, ketika Paman Doblo sudah menjadi seorang satpam, dia melupakan segala karakter kebaikan yang pernah menempel pada dirinya.
                Cerpen ketujuh, “Kang Sarpin Minta Dikebiri”.  Cerpen ini menceritakan tokoh Sarpin yang suka gonta ganti perempuan karena tidak bisa mengontrol rasa birahinya. Sarpin sendiri sudah menyadari tentang kebiasaan jeleknya itu, tapi tetap saja dia tidak bisa menghentikan. Suatu saat dia minta dikebiri, karena sudah tidak tahu lagi jalan keluar yang lain.  Bahkan Sarpin akan nekad kalau memang tidak ada dokter yang mau mengebiri dia. Sarpin akan mendatangi tukang kebiri ayam di kampung sebelah. Belum sampai pada niatnya itu Sarpin keburu meninggal karena ditabrak mobil.
Bagi saya, seorang lelaki yang di ujung hidupnya sempat bercita-cita menjadi wong bener adalah orang baik. Walaupun cita-cita tersebut belum tersampaikan
                “Akhirnya Karsim Menyeberang Jalan” adalah cerpen kedelapan Ahmad Tohari. Cerpen ini menceritakan bagaimana rasa kemanusiaan saat ini sudah mulai menipis di masyarakat. Hidup bersama saling memberi kesempatan, memberi belas kasih sudah tidak ada lagi. Sebuah cerpen yang mengingatkan kepada kita semua, hendaklah jangan mengedepankan kepentingan pribadi. Cobalah untuk juga melihat orang lain. Dikisahkan seorang Karsim hendak menyeberang jalan. Tapi sudah beberapa waktu di pinggir jalan dia tidak bisa menyeberang, karena lalu lalang kendaraan tidak pernah memberi kesempatan kepada dia untuk menyeberang jalan. Dengan keraguan yang sangat akhirnya dia jadi menyeberang juga. Tapi naas baginya, Karsim ditabrak mobil hingga tewas. Mayat Karsim setelah disholati, akhirnya dibawa ke pemakaman yang letaknya harus menyeberang jalan.  Dengan damai dan mudah iring-iringan keranda yang berisi mayat Karsim bisa menyeberang. Seluruh kendaraan tanpa dikomando, berhenti dengan sendirinya. Karsim pun tersenyum penuh kemenangan.
                Sayur Bleketepuk. Parsih dan Dalbun adalah sepasang suami istri yang telah dikarunia dua anak yaitu Darto dan Darti. Suatu saat Dalbun berjanji pada kedua anaknya akan membawa mereka naik komidi putar. Dalbun yang bekerja di proyek ditunggu-tunggu oleh istrinya yaitu Parsih tidak datang-datang. Bahkan Parsih mempunyai prasangka buruk terhadap suaminya. Karena takut Dalbun tidak bisa menepati janjinya, akhirnya kedua anaknya disuruh makan malam terlebih dahulu dengan sayur bleketepuk. Sayur tersebut sengaja dibuat dan disajikan kepada kedua anaknya. Namanya anak kecil, mendapat hidangan seperti itu, mereka nikmati hingga tuntas. Tidak berapa lama kedua anaknya tidur pulas. Bahkan ketika ayahnya sudah datang dan hendak mengajak kedua anaknya, mereka tetap tertidur pulas. Parsih hanya tinggal menyesali apa yang diperbuatnya, yaitu memusnahkan keinginan anaknya untuk naik komidi putar dan telah berburuk sangka kepada suaminya.
                Cerpen berikutnya yaitu “Rusmi Ingin Pulang”. Dalam cerpen ini pengarang menyajikan tokoh utama Rusmi, seorang janda yang ditinggal mati suaminya, karena tertabrak mobil. Awal kehidupan berkeluarga Rusmi serba berkecukupan. Hidup bahagia dengan kedua anaknya. Tapi semenjak suaminya meninggal, Rusmi harus menanggung beban kehidupan. Akhirnya Rusmi merantau ke Jakarta. Sedang warga kampungnya mendengar gosip bahwa Rusmi di Jakarta menjadi wanita penghibur. Ada juga yang pernah melihat Rusmi dengan lelaki lain. Dan gosip negatif tersebut terus berkembang tanpa bisa dibendung. Suatu hari Rusmi ingin pulang ke kampungnya. Kang Hamim, ayah Rusmi kuatir kalau anaknya pulang kampung mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Rusmi akhirnya jadi pulang kampung, dia mengatakan bahwa akan datang seseorang yang akan melamar dia. Banyak orang percaya, tapi tidak sedikit yang mencibir. Namun cibiran itu berhenti ketika lelaki yang disebut-sebut Rusmi datang dengan mengendarai mobil melamar Rusmi. Ternyata lelaki tersebut adalah teman Rusmi ketika masih sekolah di Sekolah Dasar. Hendaknya kita menjadi manusia janganlah cepat berburuk sangka kepada seseorang sebelum mengetahuinya sendiri.
                “Dawir, Turah, dan Totol” adalah cerpen yang menceritakan tentang kehidupan kaum gelandangan yang menetap di terminal. Dawir dan Turah adalah sepasang suami istri, tapi itu pun jadiannya juga tidak resmi. Sedang Totol adalah anak mereka. Bertiga bertempat tinggal di bagian terminal lama yang belum sempat dibongkar oleh pemborong. Suatu saat Dawir membelikan mainan buat Totol. Mainan tembak-tembakan. Totol senang sekali, Dia bermain-main, berlari-lari menembak Dawir. Tidak disangka Dawir ditangkap polisi karena ketahuan mencopet. Juga diceritakan kebebasan sex dalam kehidupan masyarakat bawah, yang tidak memperhitungkan kesehatan.
                “Harta Gantungan”. Sebuah cerpen yang menceritakan tentang Kang Nurya yang hidup menduda. Harta satu-satunya adalah seekor kerbau. Kang Nurya memelihara kerbau kecil, kemudian dia akan menjual kerbau tersebut apabila harga jual kerbau sudah tinggi. Kang Nurya mempunyai penyakit semacam tumor, tetapi dia tidak mau ke dokter karena tidak mempunyai uang. Inisiatif menjual kerbau juga tidak dia ambil, untuk berobat ke dokter. Baginya umurnya sudah terlalu tua, dan dia siap untuk mati. Dia berpesan apabila dia mati, kerbau itu minta dijual untuk membiayai kematiannya.
                Cerpen berikutnya “Pemandangan Perut”. Secara deskripsi diceritakan bagaimana tabiat orang-orang yang hidup di dunia ini, terlihat nyata di bagian perutnya. Tokoh Sardupi, orang yang dianggap tidak waras, namun dalam cerita ini dikisahkan bisa melihat tabiat atau yang pernah dilakukan oleh seseorang, seperti melihat film atau video di bagian perutnya.
                Cerpen berikutnya adalah “Salam dari Penyangga Langit” dan Bulan Kuning Sudah Tenggelam. Pada intinya Ahmad Tohari dalam menulis cerpen cenderung menggambarkan kehidupan rakyat jelata dengan penuh suka dukanya.



                                                                                                                 Surabaya, 11 Oktober 2019
                                                                                                                 Edie S.-