26 Agustus 2008

JUMBO JUS


Pak, nanti kalau sudah selesai les, beli jus ya. Rayu anak laki-lakiku. Mas, bapak hari ini tidak punya duwit, tadi saja mau beli aqua tidak jadi. Aku berusaha menggodanya. Yaw is, kalau begitu tidak jadi saja. Anak laki-lakiku wajahnya langsung cemberut berkerut-kerut. Iya mas, duwitnya bapak habis, tadi aku lihat bapak bayar les. Wanitaku membela. Yawis, yaw is aku ngak minta! Teriak anak laki-lakiku. Aku tersenyum menahan tawa, melihat kedua anakku. Seperti biasa wanitaku selalu lebih mengerti tentang keadaan. Keadaan apa saja. Sedang anak laki-lakiku lebih memilih berperan jadi anak kecil yang masih suka diperhatikan dan dimanja.
Melihat anak laki-lakiku mulai cemberut dan ngambek, aku tidak sampai hati. Iya, iya mas nanti sepulang les bapak berikan jus yang kamu suka. Seketika matanya berbinar, dan senyum yang begitu kukenal dikala dia gembira tersungging di sudut bibirnya. Memang anak laki-lakiku ini punya kekhasan yang tidak dipunyai wanitaku , yaitu senyum dan tawa yang begitu menyenangkan. Senyumnya membuat penampilan laki-lakiku ini menarik perhatian, apalagi tawanya yang begitu lepas, tanpa beban, senang dan bersemangat. Wanitaku juga ikut tersenyum senang. Bapak iki mesti mbujuki. Jarene gak duwe duwit. Tibake duwe duwit. Wis, wis ndeos (ndeso/desa/udik). Sambil memukul-mukul lengan tanganku.

Di depanku
Ada anugrah yang harus aku syukuri
Jauh di relung mata perawan
Aku temukan kedamaian
Yang begitu damai …
Tulus …. Tanpa ada dusta


Sebelum masuk ruang les, anak laki-lakiku perlu mengingatkanku lagi. Pak, jumbo jus lho! Sambil tak lupa tersenyum padaku. Aku ajungkan jempol tanda setuju dan tak kan mengingkari.
Selama satu jam menunggu, aku manfaatkan waktuku untuk akses internet. Kebetulan di tempat les musik “Mayura” ada fasilitas Wi-Fi, gratis lagi. Beberapa hari ini aku lagi suka mengumpulakn informasi., artikel, dan foto yang berkaitan dengan kota Surabaya tempo dulu. Lagi ingin melihat wajah kota Surabaya tempo dulu.

Selang satu jam menunggu kedua anakku sudah keluar dari ruang les. Pak Jumbo Jus … teriak anak laki-lakiku sambil mengajukkan jempol ke arahku. Setelah membayar parker motor yang seharusnya gratis. Aku larikan motorku. Setelah belokan di ujung jalan Manyar kami berbalik arah, dan Warung jus yang bernama “JUMBO JUS” kami singgahi. Seorang pelayan laki-laki dengan ramah menyodorkan kertas pesanan makanan. Mana pak aku yang nulis, kata wanitaku dengan antusias. Dengan gaya yang khas wanitaku bertanya pada kakaknya. Mas mau pesan apa. Akhirnya kami pesan dua jus sirsak, dan satu mangkok bakso.

Satu jam sudah waktu kami habiskan bertiga. Jus dengan ukuran gelas super jumbo tandas, begitu pula yang saya minum, tanpa sisa. Pak, nanti kalau bapak punya uang, beli lagi ya, rayu anak-laki-lakiku. Iya, doakan bapak banyak rezeki.

Anugrah terindah
Adalah sesuatu yang sudah ada, dan kita nikmati yang ada itu dengan tulus
Murni ….

25 Agustus 2008

RELIGIUS






Hari Senin, 25 Agustus 20 seperti biasa aku mengantarkan wanitaku untuk belajar menari di sanggar Bagong Kussudihardjo. Ada perasaan bangga melihat wanitaku menari begitu gemulai. Hari ini adalah pelajaran menari hari pertama setelah dia menyelesaikan ujian tari dua minggu yang lalu. Sudah tiga tingkat dengan enam tarian yang sudah dia kuasahi. Tari Lir-ilir, tari Jaranan, tari Burung, tari Kumbang, tari Liman Alit, dan tari .............. Sedangkan hari ini diajarkan tari Gembira yang begitu rancak. Dimulai dengan lambaian kedua tangan yang membentang seperti burung, dilanjutkan dengan hentakan tangan ke kiri dan ke kanan, dan diakhiri dengan loncatan tiga ke kanan dan tiga ke kiri. Sampai tahap ini, wanitaku ternyata berbeda dengan keempat temannya yang lain, lebih bisa menguasahi. Moga ini adalah anugrah talenta yang diberikan penguasa jagat yang Maha Pemurah.

Selesai menari, sejenak aku dan wanitaku mampir melihat pameran lukisan yang digelar di ruang Sawunggaling. Pameran Seni Rupa Akbar 2008, yang terangkai dalam tiga gelaran. Pameran seni lukis ’Kesenangan’ tanggal 28 Maret s.d. 5 April 2008, dilanjutkan dengan Pameran seni grafis dan video tanggal 25 Juni s.d. 4 Juli 2008, dan diakhiri dengan pameran seni lukis religius tanggal 22 Agustus s.d. 10 September 2008. Waktu yang cukup panjang untuk menikmati gelaran kanvas dengan coretan-coretan penuh makna.

Seni Lukis ReligiusAnak-anak kecil itu bermain diantara terangnya rembulan mereka bagai melihat sesuatu dalam nafas kehidupan alam semesta, gambaran itu mungkin bisa dilihat dalam karya-karya almarhum pelukis Amang Rahman. Sesuatu yang diburu anak-anak menandakan alam semesta memiliki kebesaran. Ada spirit religius yang dihadirkan pelukisnya. Warna-warna yang dihasilkan mampu memberikan tafsiran tersendiri bagi yang melihatnya, begitupula dengan objek-objek yang hadir membangun suasana tanpa penuh dengan keheningan.

Fenomena perkembangan seni rupa yang berorientasi pada sesuatu yang memberikan sentuhan religius semakin lama-lama tertinggalkan. Kini para perupa muda lebih senang menggeluti seni rupa yang berbau kontemporer (kekinian), sesuatu yang bersifat sejaman dengan apa yang sedang terjadi dalam wilayah keberadaannya. Kesadaran untuk menengok kembali wilayah mereka yang berada dalam wilayah ketimuran yang penuh dengan nilai-nilai religius semakin dijauhi. Ini pertanda ingatan kita akan manusia timur semakin berkurang dan berganti dengan ingatan kebarat-baratan.

Dalam ranah seni rupa religius ketimuran kita akan bisa berbicara dalam corong kebudayaan karena di dalamnya terkandung makna-makna bisa memberikan suatu kedamaian tersendiri, contohnya lukisan kaca dengan figure semar yang badannya dibentuk dari kaligrafi arab, lukisan kaca denganseekor hewan terbang menuju langit. Hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam semesta digambarkan dengan suasana religius dan penuh dengan seni rupa kelokalan.

Dalam pameran seni lukis religius ini kita akan bisa merefleksikan keberadaan budaya kita yang dihasilkan dari tangan-tangan kreatif setiap pelukisnya. Semoga!

14 Agustus 2008

12 Agustus 2008

11 Agustus 2008

HIKAYAT BULAN DAN KHAIRAN

Beberapa hari ini dalam pembelajaran sastra, saya mencoba menghadirkan sebuah puisi karya Husni Djamaluddin, yang saya dapatkan di Majalah Horison Tahun XXXXI, 2006, No.T4.2. Puisi ini begitu menggelitik untuk membangkitkan minat siswa mengapresiasi karya sastra, utamanya puisi, yang sementara ini siswa beranggapan bahwa menelaah makna dalam puisi itu sulit, dan berbelit. Apalagi membuat puisi.
Puisi tersebut berjudul Hikayat Bulan dan Khairan, ditulis tahun 1976, di samping mengandung asosiasi pornografis, juga bersifat naratif, sekaligus metaforis, yang semuanya ringan dan mudah untuk dicerna.

Hikayat Bulan dan Khairan

di langit malam: Bulan
memancarkan cintanya kepada Khairan
Khairan tidak perduli
di kamarnya yang sunyi
Khairan menulis puisi
lewat celah jendela
Bulan mengintip Khairan
Khairan tidak perduli
Di kamarnya yang sunyi
Khairan menulis puisi
Di langit bulan gelisah
Khairan tidak perduli
Di langit Bulan sepi
Khairan tidak perduli
Di langit bulan Rindu
Khairan tidak perduli

maka Bulan turun ke bumi
Khairan tidak perduli
Bulan melangkah mendekat
Khairan tidak perduli
Bulan memanjat dinding
Khairan tidak peruli
Bulan mengetuk jendela
Khairan tetap saja menulis puisi

pelan-pelan Bulan menguak jendela
Khairan tidak perduli
Bulan nekad memasuki kamarnya
Khairan tidak perduli
Bulan menggamit bahunya
Khairan tidak perduli
Bulan mengelus lehernya
Khairan tidak perduli
Bulan membelai pipinya
Khairan tidak perduli
Bulan mencium dahinya
Khairan tidak perduli
Bulan mengecup bibirnya
Khairan tidak bisa lagi tidak perduli
Bulan rebah di pangkuannya
Khairan tidak lagi menulis puisi
Bulan memegang tangannya
Khairan membiarkan
Bulan menuntunnya ke ranjang
Khairan tidak keberatan
Bulan buka kutang
Khairan mulai gemeteran
Bulan buka paha
Khairan segera jadi singa

syahdan
ketika Bulan dan Khairan
tuntas di puncak malam
sebuah puisi tiba di ujung baitnya

Bulan pun kembali ke langit malam
memancarkan cintanya ke mana-mana

10 Agustus 2008

07 Agustus 2008

KEPADA HEY!

Hey! Tidak pernahkan engkau merasakan sakit. Sakit yang berkepanjangan. Beribu sakit mengumpul jadi satu membentuk gumpalan yang kian lama kian membesar, dan dalam waktu sepersekian detik menghantam kepalamu. Lebih menyakitkan lagi apabila menghantam mata hatimu. Pedih, nyeri, penuh luka tanpa darah. Selalu menghantui dalam perjalanan pagi, siang, malam dan tengah malam menjelang pagi. Rasa sesak menyelimuti tiap hembusan nafas. Kegalauan hinggap menyapu bersih rasa percaya diri. Kepercayaan yang sudah terkikis makin lama makin tipis yang pada akhirnya jadi debu, tertiup angin, dan hilang ...

Hey! Tidak pernahkan alam ini memaklumi, bahwa cinta dan kasih sayang selalu seiring dan sejalan. Menjalar melamur setiap jengkal hati dan perasaan. Memberikan nuansa keindahan bak rona pelangi dengan rintik hujannya. Bahwa cinta membuat hidup lebih hidup. Semangat lebih semangat menjalani alur kehidupan yang serba tak terkendali. Mengharu biru dengan deretan puisi-puisi manja, tulisn-tulisan usang, dan tali temali yang tak berbentuk lagi. Mencari, bertemu, dan pada akhirnya harus bercerai berai, luluh lantak menyisahkan bercak yang sulit terhapus. Tentang malam yang terhipnotis dingin, tentang air dingin yang mengikuti liku sungai, tentang pinus yang berdiri tegak menjulang, tentang rumah joglo di depan lapangan, tentang keceriaan, tentang kehangatan senja, dan masih banyak tentang yang lain. Tidak ada jalan untuk kembali menemukan bingkai yang telah terkoyak. Tertutup oleh keangkuhan, kesombongan dan ketidak pedulian membentuk dinding hitam tegar, kokoh, dan tak tersentuh, walau dengan jari dan ucap selembut angin pagi.

Hey!
Dan Hey ...!!!
Mencoba merenung di selaksa malam nan kian pekat. Mencari diri yang telah terbang entah kemana. Bangkit dari tindasan hati yang memerih. Bangun dari mimpi berkepanjangan. Merobek lukisan dusta yang tergantung pada dinding waktu yang kian memudar. Dan mencoba untuk membungkam mulut, membutakan mata, menulikan pendengaran dan menyembunyikan hati di lorong waktu yang tak berujung.

Hey!

06 Agustus 2008

01 Agustus 2008

MERAH dan PUTIH

MERDEKA
Menurutku


Merdeka
Artinya, bebas …
Bebas berkata
Bebas bertindak
Bebas berdomo
Bebas menghujat
Bebas mencela
Bebas berkhianat
Bebas bertengkar
Bebas korupsi
Bebas mencuri
Bebas ...
Bebas ...
Pokoknya, bebas lah!
...
...
Indonesiaku
Menangislah ... lah ... lah lah ...



PAHLAWAN

Aku pahlawan
Aku pahla-wan
Aku pah-la-wan
Pahlawan itu aku
Jadi mohon dimengerti
Aku pahlawan
Jadi mohon dihormati
Aku pahlawan
Jadi mohon disegani
Bahwa, aku pahlawan
Yang pahlawan adalah diriku
Bila demikian aku pahlawan
Iya, aku pahlawan
Sungguh, aku pahlawan
Sungguh, iya, aku pahlawan
”Apa sih pahlawan itu?”
Pahlawan, ya pahlawan
Titik
Cerewet amat sih ...



BENDERA

Kibarkan benderamu
Tapi jangan terlalu tinggi
Sebab bangsa ini masih menangis
Sedih ...
Tersedu ...
Terbelit ...
Berbelit ...
Membelit ...

Kibarkan benderamu
Tapi jangan dengan congkakmu
Sebab bangsa ini masih merana
Bencana berseru
Meraup masih perlu
Pendidikan menunggu
Bebas terbelenggu

Tapi ...
Kau harus tetap kibarkan bendera
Tuk memperingati hari jadi bangsamu