27 Oktober 2008

CLAKET - HATIKU

Ketika keinginan menjadi sesuatu yang langka, aku mencoba keluar dari kamar menuju pekat malam. Melihat bintang beralih yang membelah angkasa, memberikan nuansa yang menyibak beberapa kenangan tentang pucuk pinus yang semakin kering, dan mungkin di senja yang lain akan benar-benar runtuh, berjatuhan ke tanah, yang pada akhirnya harus membusuk. Setiap waktu menikmati malam dan pekat seperti ini selalu, dan selalu kau hadir menelusup diantara kantuk dan harap. Suatu harapan yang tidak mungkin terwujud, suatu keinginan yang jauh dari kenyataan. Membentuk wajahmu menjadi guratan-guratan fatamorgana, seperti halnya melihat angin diantara batang-batang pinus yang berserak, bergelimang tanah basah oleh embun malam ini. Ah, mengapa keinginan selalu terlambat oleh kenyataan. Dan mengapa kenyataan tidak selalu seperti harapan.

Ada bintang di selasar mayapada
Ada pekat mengitari keinginan
Ada dingin menyelimuti rindu
Ada harap yang tak kunjung berujung


Non, membayangkanmu adalah kesenangan tersendiri yang selalu menghiburku, di kala sepi di langit, dan dingin yang menggigit kulit. Lekuk bibir yang selalu terucap penuh kasih, sering membelai rasa gundah yang kadang mendera, mengerak menghuni ujung batinku. Kata-kata yang meluncur dari ujung bibirmu tak pernah kering dari sentuhan sayang, membelai mesra menggelitik manja dalam dekapan keinginan-keinginan menuai hangat. Halus kulit telapak tanganmu menyentuh, melingkar leher, ada getaran-getaran halus membentur dinding hasrat ingin memberikan kecupan terindah di keningmu.

Ku tlah miliki
Rasa indahnya perihku
Rasa hancurnya harapku
Kau Lepas cintaku

Rasakan abadi
Sekalipun kau mengerti
Sekalipun kau pahami
Fikirku salah mengertimu

Aku Tak ingin kau tahu
Besarnya cintaku
Tingginya khayalku bersamamu

Kulalui waktu yang tersisi kini
Disetiap hariku disisa akhir nafas hidupku

Walaupun semua
Hanya ada dalam mimpiku
Hanya ada dalam anganku
Kulewati itu

Asalkan abadi
Sekalipun kau mengerti
Sekalipun kau pahami
Pikirku salah mengertimu,


Non, di setiap nafas hidupku, aliran darahku merasakan hangat sentuhan dari jiwa yang begitu bebas, lepas, tanpa batas, dan ikatan. Ada naluri yang tak kan pernah hangus oleh waktu, walau lindasan begitu hebat, walau hambat menghadang. Hanya saja jiwa ini telah menjadi bagian yang tak terpisah dari sebuah mahligai. Ketika dusta harus kita singkirkan, ketika memaknai kejujuran harus kita akui, jujur aku akui bahwa aku begitu sayang kepadamu. Entah, dan sudah entah yang keberapa kucoba elak, mendustai diri, menjahuimu, mengacuhkanmu, menyingkirkanmu, tetapi semakin aku melukai diriku, maka semakin aku merindukanmu. Api yang sudah menyala, walau sudah tersiram oleh hempasan angina dan hujan yang membasah, tapi tetap menyisahkan bara hangat yang selalu mengingatkanmu.

Malam, ketika beberapa bintang beralih ke langit utara, ketika bintang gubuk penceng, memaksaku untuk melihatnya. Aku duduk di atas deretan rapi paving jalan, dingin, serpihan angina mengelus lembut sebagian rambutku. Ada yang terluka, ada yang terkenang, ada yang menyelinap diam-diam di balik sudut batin. Menggelitik, entah untuk berapa lama lagi. Kulangkahkan kaki ini, menuai kenyataan, kuhibahkan rasa ini demi rasa sayangku yang sangat.

Pondok Claket Indah, LDKS 24-26 Oktober 2008