21 Januari 2020

Pengakuan Pariyem - Linus Suryadi AG.



                Pengakuan Pariyem adalah salah satu karya dari Linus Suryadi AG. Di samping itu masih ada beberapa karya lain, yang masih seputar karya sastra, yaitu Perang Troya (Cerita Ulang Anak-Anak), Langit Kelabu (Kumpulan Sajak), serta beberapa dalam bentuk  kumpulan esai, kumpulan puisi. Beberapa penghargaan pernah diraihnya, yaitu tahun 1984 untuk bidang sastra meraih Hadiah Seni dari Pemerintah Provinsi DIY, tahun 1979 memenangkan hadiah II lomba penulisan puisi yang diselenggarakan oleh BBC London Seksi Bahasa Indonesia untuk mengenang Almarhun Aoh K. Hadimadja, dan Kumpulan Puisi Rumah Panggung mendapat penghargaan dari Pusat Bahasa tahun 1994.

                Keunikan dari Pengakuan Pariyem sebuah novel adalah, prosa berbentuk puisi atau yang biasa disebut Prosa Lirik. Namun semua itu tidak mengurangi keindahan dari novel tersebut. Rentetan kata atau frasa berulang sering kita dapatkan dalam novel ini. Bukan hal yang menjemukan tapi malah membuat suasana dan penekanan lebih bermakna.
                Beribu-ribu tikus
                Berjuta-juta wereng
                Datang dan pergi
                Silih berganti
                Beribu-ribu tikus
                Berjuta-juta wereng
                Datang dan pergi
                Berulang kali
                Beribu-ribu tikus
                Berjuta-juta wereng
                Mengobrak-abrik harapan petani
                Mengobrak-abrik kehidupan kami
                Beribu-ribu tikus
                Berjuta-juta wereng
                Seperti siluman datang
                Seperti siluman pergi
                Beribu-ribu tikus
                Berjuta-juta wereng
                Dari mana mereka datang
                Dan ke mana mereka pergi

                “Dunia Batin Seorang Wanita Jawa”, tergambar dalam keseluruhan cerita ini. Mulai dari nama tokoh, latar, suasana, budaya, terlebih sifat dan sikap orang jawa.  Tokoh sentral dalam Pengakuan Pariyem adalah seorang wanita yang bernama Pariyem, lengkapnya Maria Magdalena Pariyem. Dilahirkan  di Wonosari Gunung Kidul , dari seorang Ledhek yang bernama Parjinah. Di dunia pesindhenan terkenal dengan nama Niken Madu Kenter. Dan Ayah yang bernama Karso Suwito, Gonjing nama panggilannya. Keluarga seniman tradisional jawa. Pariyem adalah sosok wanita jawa yang sabar, trimo ing pandum. Tidak ngegeh mangsa, selalu berpikir positif, tidak mau protes, dan selalu menerima apa adanya. Walaupun yang diterima itu sebuah musibah, tokoh Pariyem tidak pernah menyalahkan siapa pun, terlebih harus menyalahkan Tuhan, tidak pernah ada dalam pikirannya. Dalam novel ini, tokoh Pariyem digambarkan sebagai wanita yang mengabdi kepada majikannya. Apa pun yang dilakukan majikan terhadapnya, dia tidak pernah selak atau membangkang. Baginya sudah bisa bekerja sebagai babu pada priyayi Ngayogyakarta, nDoro Kanjeng Cokro Sentono merupakan suatu anugrah yang harus disyukuri.

                Ada beberapa hal unik yang kita dapatkan pada “Pengakuan Pariyem”. Pengarang yang notabene asli wong Jogya, yang setiap harinya mengenal budaya dan kebiasaan orang jawa berusaha njlentrehkan nuansa-nuansa jawa, yang tergambarkan dalam idiom atau istilah atau peribahasa yang hidup subur di lingkungan orang jawa. Idiom atau peribahasa tersebut mengandung makna yang dalam, mencerminkan budaya, dan trade mark jawa.
                Bibit, bobot, bebet
                Madeg, manthep, madhep
                Karsa, kerja, karya
                Lirih, laras, lurus
                Titis, tatas, tetes
                Wani ngalah, luhur wekasanipun, suatu ajaran bahwa dengan mengalah bukan berarti kalah, tetapi kita berusaha untuk tidak memperpanjang masalah. Dengan cara demikian suatu masalah akan cepat terselesaikan. Dan keputusan terakhir yang paling hakiki hanya dari Tuhan semata. Allah ora sare!

                Selain cerita yang runtut, walaupun beberapa kali ada kilas balik ke kehidupan lama Pariyem, namun Pengarang berhasil menyisipkan keagungan budaya Jawa. Pengarang berhasil menggiring, mengajak, atau pun sedikit memaksa pembaca untuk mengingat bahwa kalau bukan kita yang ngleluri budaya Jawa terus siapa lagi.
                Kita sendiri punya peradaban, Iyem
                Apabila bukan kita yang menghargai
                Malah malu dan meremehkan, itu aib
                Siapa yang mengangkat martabatnya?”
                Kepiawaian pengarang dalam menjelaskan berbagai nama dalang, pesinden, tentang kehidupan dalang dan pesinden di mata orang awam serta tembang-tembang dolanan lebih memperkuat karakter Linus sebagai orang Jawa tulen.

                Tak lupa diselipkan juga kebiasaan orang Jawa ketika hari Raya Idul Fitri. Dalam satu keluarga biasanya akan mengadakan ritual sungkem, minta doa dan mohon maaf kepada yang lebih tua. Dalam buku itu disertakan kalimat apa yang kita ucapkan. Di zaman yang sudah modern ini, terutama generasi muda tentu ewuh pakewuh ketika akan sungkem, akan mengucapkan kalimat apa.
                Orang yang lebih muda :
                “Kula sowan wonten ing
                Ngarsanipun mbah putri
                Sepisan : Nyaosaken sembah pangabekti
                Mugi katur ing ngarsanipun simbah
                Ongko kalih : mbok bilih wonten
                Klenta-klentunipun atur kula saklimah
                Tuwin lampah kula satindak
                Ingkang kula jarag lan mboten kula jarag
                Ingkang mboten ndadosaken sarjuning panggalih
                Mugi simbah karsa maringi gunging samodra pangaksami
                Kula suwun kaleburna ing dinten Riyadi punika
                Lan ingkang wayah nyuwun berkah saha pangestu”

                Orang tua :
                “Semana uga aku, wong tuwa
                Uga akeh klera-klerune
                Kowe uga ngagungna pangapura
                Ora luwih, kowe bisaa
                Kabul kang dadi ancas
                Lan dadi ketujuanmu
                Ora luwih, aku wong tuwa
                Mung bisa ndedunga marang Pangeran
                Iya, kowe dak pangestoni”

                “Pengakuan Pariyem” dalam kacamata saya, berusaha menyuguhkan bahwa dalam lingkungan keluarga berdarah biru, bangsawan, atau kaum ningrat, masih ada sedikit unggah-ungguh sosial. Misalnya ketika Pariyem ternyata hamil karena polah gawe Raden Bagus Ario Atmojo, putra dari nDoro Kanjeng Cokro Sentono. Raden Bagus mengakui bahwa itu perbuatannya. Sedangkan nDoro Kanjeng pun ora selak, bahwa Pariyem hamil karena memang akibat kelakuan anaknya.  Cerita dalam buku ini berusaha membuyarkan imajinasi pembaca yang mulai tergiring pada cerita-cerita berlatar kaum ningrat, yang berusaha untuk menjaga keningratannya, bahwa kasta ningrat itu sempurna dan benar. Tapi “Pengakuan Pariyem” berbeda. Berusaha untuk membawa dan meramu imajinasi sosial, bahwa yang salah harus menanggung segala akibatnya tanpa melihat strata dan latar belakang kehidupannya, walaupun tidak seratus persen seperti itu. Karena pada bagian akhir cerita, Pariyem harus dipulangkan ke Wonosari Gunung Kidul, ke rumah orang tuanya  untuk melahirkan jabang bayinya, dan setelah itu kembali menjadi babu di rumah nDoro Kanjeng Cokro Sentono, tanpa memiliki predikat anak mantu.

                Bagi pembaca yang awam dengan bahasa Jawa, tetapi ingin membaca “Pengakuan Pariyem” tidak usah berkecil hati, karena Linus telah menyelipkan lampiran Daftar Kosa Kata Jawa-Indonesia dan lampiran Terjemahan Tembang, Dolanan, Pantun, Ungkapan dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian keinginan Linus untuk nguri-uri Bahasa Jawa, agar tidak tenggelam di era modern ini bisa terwujud. Semoga!





Surabaya, 16 September 2019
EdieS.-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar