21 Januari 2020

Canting - Arswendo Atmowiloto



                Canting adalah salah satu karya berupa novel dari Arswendo Atmowiloto. Karya dengan latar belakang budaya dan masyarakat Jawa. Utamanya dengan setting kaum bangsawan atau kaum keraton.
Dikisahkan kehidupan Raden Ngabehi Sestrokusumo yang mempunyai usaha batik di rumahnya, Ndalem Ngaben Sestrokusuman. Pak Bei mempunyai istri yang biasa dipanggil Bu Bei. Bu Bei adalah tipe wanita Jawa yang ulet, pekerja keras dan ngabekti pada suami. Bu Beilah yang menjalankan usaha batik. Suami istri tersebut dikaruniai lima orang anak. Pertama, Wahyu Dewabrata, kedua Lintang Dewanti, ketiga Ismaya Dewakusuma, keempat Bayu Dewasunu, dan yang bungsu Wening Dewanti. Sedangkan di rumah itu terdapat beberapa orang abdi dalem atau mungkin bisa disebut pembantu atau babu. Jimin, bertanggung jawab untuk memelihara ikan Maskoki, segala tanaman di rumah tersebut serta ayam hutan dan beberapa burung perkutut. Yu Kerti bertanggung jawab untuk menyiapkan makanan setiap harinya, Sedangkan yang mengurus cucian adalah Mbok Tuwuh.
                Kalangan ningrat mempunyai kebiasaan pada malam Jumat Kliwon untuk berkumpul. Setiap istri harus tahu dan rela untuk melepas suaminya semalam suntuk tanpa alasan. Kumpul-kumpul tersebut awalnya diadakan di lingkungan keraton, tetapi banyak masyarakat di sekitar yang protes, karena dianggap pesta-pesta tersebut menyakitkan hati rakyat, yang saat itu berada di lingkaran kemiskinan. Menyadari hal tersebut, maka atas inisiatif Pak Bei pertemuan kebudayaan yang dikemas dengan nama Nguri-Uri Kabudayan Jawi tersebut dilaksanakan di Taman Ronggowarsito, Njurug, di tepi Bengawan Solo. Hanya saja tetenger berbalur kebudayaan tersebut tidak nampak dalam kegiatan mereka. Ningrat yang kumpul mempunyai kebiasaan buruk, yaitu meneguk minuman keras (arak), dan main perempuan. Jadi jauh dari kegiatan kebudayaan.  
                Pada bagian berikutnya diceritakan tentang Pasar Klewer. Bu Bei dibantu Yu Tun dan Yu Mi, mulai menata batin dagangan. Geliat Pasa Klewer sudah dimulai sejak pagi. Sudah banyak pedagang yang mengais rezeki di pasar ini. Tidak hanya pedagang, buruh angkut, tukang becak dan tukang sapu pun kebagian rezeki. Perputaran uang mencapai ratusan bahkan jutaan di pasar rakyat ini. Segala strata kehidupan, jabatan, ketika sudah masuk ke pasar ini, sudah tidak berlaku. Yang ada hanya penjual dan pembeli. Keduanya mempunyai kedudukan yang sama.
                Kilas balik, diceritakan bagaimana rasa sayangnya Bu Bei pada anak pertamanya. Anak lanang, Wahyu Dewabrata. Sebuah kebanggaan bagi istri bisa mempersembahkan anak pertama laki-laki. Dan sebuah kebanggaan juga pada Pak Bei. Rasa sayang Bu Bei yang kelewat sampai protektif pada anak lanangnya. Suatu ketika Wahyu menghilangkan cincin pemberian ayahnya. Ketika memberitahu Pak Bei, wahyu dimarahi habis-habisan. Wahyu dianggap tidak bisa bertanggung jawab. Namun, Bu Bei dengan sabar membela anaknya, bahkan membelikan cincin baru lagi untuk Wahyu. Kejadian seperti ini terjadi lagi, ketika Wahyu menabrak orang dan harus berurusan dengan polisi. Bu Bei jugalah yang menyelesaikan permasalahan ini.
                Saat usia Wening sudah sebelas tahun , ternyata Bu Bei hamil lagi. Pak Bei sempat curiga, bahwa yang dikandung Bu Bei adalah bukan anaknya. Bu Bei menunggu dan menunggu kepastian yang akan disampaikan oleh Pak Bei. Kalaupun harus keluar dari rumah, Bu Bei akan menuruti tanpa ada alasan untuk membangkang. Apapun yang menjadi keputusan suaminya adalah mutlak. Sebagai istri hanya nurut kata suami. Tetapi pada akhirnya sampai bayi lahir dan diberi nama Subandini Dewaputri Sestrokusuma, Pak Bei tidak pernah mempermasalahkan kehamilan Bu Bei.
                Setiap kali pak Bei berulang tahun seluruh anak, menantu dan cucu-cucunya akan hadir. Demikian ketika pak Bei ulang tahun di usia ke 64, seluruh anaknya, menantu, dan cucu-cucunya hadir. Semua anaknya telah menikah, kecuali Subandini atau biasa dipanggil Ni. Saat itu Ni sudah lulus sarjana, juga sudah mempunyai pacar, Himawan. Namun Ni masih belum mau membina rumah tanggal. Hal itu menjadi kecemasan bagi orang tua dan kakak-kakaknya. Sebab Ni sendiri mempunyai cita-cita yang akan disampaikan langsung dihadapan kedua orang tuanya dan kakaknya.
                Saat pertemuan keluarga, Ni berkesempatan menyampaikan keinginannnya untuk melanjutkan usaha batik “Canting”. Namun, karena keinginannya itulah membuat bu Bei langsung jatuh sakit dan harus dibawa ke rumah sakit. Tidak berapa lama sakit bu Bei tidak kunjung sembuh, yang pada akhirnya bu Bei wafat. Niat Ni sudah bulat bahwa dia ingin melanjutkan usaha batik milik keluarganya. Walaupun dia menyadari bahwa dirinya tidak tahu menahu tentang dunia batik. Bahkan untuk membedakan jenis canting saja tidak bisa. Banyak yang ingin diperbuat Ni dalam perusahaan batik milik keluarganya tersebut. Terlebih dia melihat ketimpangan selama ini. Banyak abdi dalam yang notabene menjadi pekerja batik, hidupnya belum baik. Walaupun kenyataannya, pekerja batik tersebut tidak menuntut banyak. Bagi mereka bisa mengabdi di rumah pak Bei merupakan sebuah kehormatan, merupakan sebuah kebanggaan. Bisa untuk hidup, makan dan sedikit sandang bagi mereka sudah cukup. Untuk niatnya tersebut Ni sampai harus mengorbankan jauh dari Himawan, tidak membuka apotek, bahkan ketika perusahaan batik “Canting” di ujung kebangkrutan, Ni rela menjual rumahnya di Semarang.
                Perusahaan batik “Canting” lambat laun tidak bisa dipertahankan, tergerus dengan perkembangan zaman dan teknologi. Memang batik Canting mempunyai kualitas tinggi karena dikerjakan dengan cara tradisional, memakai bahan dengan kualitas bagus, dan dikerjakan dengan cermat dengan hati ikhlas. Tapi semua itu tidak bisa untuk menghidupkan Canting, zaman sudah berubah, dengan teknologi printing, hari ini cetak dan hari ini pula batik bisa dijual dalam jumlah banyak. Demikian pula, pengguna atau konsumen batik tidak pernah lagi melihat kualitas batik. Bagi mereka yang penting bisa memakai batik, itu sudah lebih dari cukup. Kenyataan seperti itu yang tidak bisa diterima oleh Ni, yang apda akhirnya Ni sakit. Keadaan Ni menjadi beban sendiri bagi kakak-kakaknya, terlebih bagi pak Bei. Bahkan seumur-umur, baru pertama kali pak Bei menangis ketika melihat keadaan anak bungsunya yang terkulai tak berdaya.
                Canting sudah tidak mungkin lagi hidup. Canting tetap menjadi canting walaupun tidak digunakan membatik. Agar para pekerja batik Canting tetap bisa menghidupi keluarganya, akhirnya perusahaan batik Canting tetap memproduksi batik tapi dengan menanggalkan cap Canting.

Refleksi :
Novel Canting adalah gambaran tentang kehidupan di masyarakat kita. Dengan latar budaya Jawa, Arswendo mencoba membuka mata hati kita, bahwa untuk mempertahankan budaya yang telah kita miliki di tengah gerusan modernisasi adalah upaya yang sulit. Terlebih tidak dibarengi rasa andarbeni dalam diri kita. Bila budaya kita satu demi satu hilang, dan sebagai pemilik budaya kita tidak mau berusaha untuk andarbeni, suatu saat kita tidak akan mempunyai budaya. Sebuah negara, sebuah bangsa tanpa budaya tidak layak disebut sebagai negara sekaligus sebagai bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar