21 Januari 2020

Bekisar Merah - Ahmad Tohari



Hidup
Adalah sebuah perjalanan panjang
Ada yang tersirat
Banyak pula yang tersurat
Membelenggu, tapi tak erat
Kita wajib mengamini
Tapi tak ada salah, kita mencoba mencari celah
Tuhan tak kan diam
Dalam semayamNya
Dia akan menghargai
Dan berusaha senyum dalam takdirNya

                Sebuah novel karya A. Tohari. Novel kedua yang saya baca, setelah saya tuntaskan “Orang-Orang Proyek”.  Kemahiran Tohari dalam mendeskripsikan keadaan lingkungan sekitar masih tetap mendominasi dalam novel “Bekisar Merah”. Topik yang diangkat tetap hangat, mengenai drama kehidupan masyarakat kelas menengah ke bawah, dengan segala suka dukanya. Tak lupa menyelipkan tokoh-tokoh antagonis yang  menyemarakkan konflik dalam perjalanan cerita tokoh utama, Lasi.

                Cerita pada bab 1, diawali dengan tiga paragraf pembuka, berupa deskripsi tentang kebun yang dipenuhi pohon kelapa, tempat Darsa dan Lasi tinggal. Sebidang tanah, di atasnya tumbuh beberapa pohon kelapa, penompang kehidupan keluarga Darsa dan Lasi. Harapan hidup sehari-hari hanya ada pada pohon kelapa yang setiap harinya diambil air nira yang akan dibuat gula aren.  Memang di desa Karangsoga, sebagian besar penduduknya hidup dari deres air nira dari pohon kelapa yang akan dibuat gula aren. Kehidupan statis yang jauh dari perubahan. Kehidupan yang jauh dari kata layak, serba kekurangan. Hari ini membuat gula kelapa, dan hasilnya juga akan habis hari ini. Begitu seterusnya. Hari boleh berganti. Hangatnya mentari boleh berubah, namun kehidupan orang-orang di Karangsoga tak pernah berubah. Kehidupan mereka bergantung pada pongkor-pongkor yang bergelanjut di atas pohon kelapa.
                Pagi hari seperti biasa Darsa, sudah pamit pada istrinya, pergi deres. Tidak ada prasangka apa pun Lasi melepas kepergian suaminya. Darsa dengan sigap naik dari satu pohon ke pohon yang lain. Tetapi tanpa diduga Darsa jatuh dari ketinggian pohon kelapa. Dia dibawa Mukri sesama penderes diangkat pulang. Melihat keadaan suaminya seperti itu, Lasi hanya bisa menangis. Lasi dan keluarganya sudah berusaha membawa Darsa ke puskesmas di desa itu. Namun kesembuhannya terasa lambat. Dokter menyarankan untuk membawa Darsa ke rumah sakit yang lebih besar di kota. Kendala keuangan tetap menjadi hal utama untuk niat membawa Darsa ke rumah sakit. Tetapi hal itu tetap dilakukan, karena Lasi menghendaki suaminya bisa sembuh. Namun kenyataan berkata lain, selam pengobatan di rumah sakit, keadaan Darsa tidak bisa sembuh seratus persen. Darsa masih sering mengeluarkan air seni tanpa dia sadari. Karena biaya rumah sakit semakin mahal, maka Lasi membawa suaminya pulang.

                Mbok Wiryaji, ibu Lasi datang ke rumah Eyang Mus karena bertengkar dengan suaminya. Permasalahannya, Mbok Wiryaji tidak tega melihat keadaan Lasi, anaknya yang menderita karena harus mengurus suaminya, Darsa yang sedang sakit dan tak kunjung sembuh. Apalagi Darsa sering marah-marah tanpa ada alasan yang jelas. Mbok Wiyaji berniat ingin mencarikan suami lain untuk Lasi. Apalagi Pak Sambeng, seorang guru yang dulu pernah mengajar Lasi, ingin mempersunting Lasi. Niat itu dulu pernah disampaikan kepada Lasi, tetapi Lasi tidak mau menerima lamaran Pak Sambelng, karena Pak Sambeng sudah mempunyai istri. Kali kedua Pak Sambeng menyampaikan niat awalnya lagi yaitu ingin memperistri Lasi, kebetulan sekarang dia sudah menduda. Eyang Mus, marah dengan sikap Mbok Warji, seharusnya sebagai orang tua itu bangga mempunyai anak seperti Lasi, yang tetap setia menemani suaminya, walaupun suami sedang sakit. Bukan terus mencarikan suami pengganti Darsa.

                Konflik batin pertama yang dialami oleh Lasi, digambarkan dengan apik oleh Tohari. Gambaran seorang perempuan jawa, yang sudah mempunyai suami, akan selalu patuh pada suaminya. Taat, apa pun keadaan suami harus sabar menerima keadaan. Lasi begitu sabar merawat suaminya, walaupun sakit suaminya tidak kunjung sembuh. Tidak ada niatan untuk meninggalkan suaminya. Dalam khasanah jawa, istri mendapat sebutan garwo yang mempunyai makna sigaraning nyawa. Bahwa seorang istri adalah bagian dari suami yang tidak terpisahkan.

                Pada akhirnya Lasi mengobatkan Darsa ke dukun bayi yang terkenal di desa Karangsoga, Bunek. Walaupun sempat disangsikan, bahwa Bunek bisa menyembuhkan Darsa. Namun kenyataan berbicara lain. Darsa lambat laun bisa sembuh. Hanya sayang ternyata Bunek mempunyai maksud jahat pada kebaikan yang telah dia berikan pada Darsa. Bunek menyimpan maksud licik, yaitu berupaya bagaimana caranya anaknya yang pincang, Sipah bisa mempunyai suami Darsa. Setelah hal itu terjadi, Lasi merasa dikhianati Darsa, yang pada akhirnya Lasi melarikan diri ke Jakarta dengan menumpang truk milik Pak Tir ayah Kajat, yang merupakan pengusaha yang membeli gula orang-orang di desa Karangsoga.

                Penggambaran karakter Bunek dalam “Bekisar Merah” sebagai tokoh antagonis kurang dalam, sehingga pembaca dikejutkan dengan keinginan Bunek untuk menjerumuskan Darsa, sehingga dengan terpaksa menikahi Sipah. Sedang karakter Sipah tidak jelas. Sipah digambarkan pincang tidak sempurna, sehingga dijauhi pemuda-pemuda, dan jauh dari jodoh hidupnya.

                Kejadian yang menyakitkan Lasi terjadi ketika Darsa berbuat yang menyalahi aturan agama, sehingga harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan mengawini Sipah. Walaupun sebenarnya Darsa tidak siap dengan kenyataan seperti itu. Perkawinan itu harus tetap terjadi. Melihat hal itu, Lasi melarikan diri dari desa Karangsoga. Dia merasa dikhianati Darsa. Selama menjadi istri Darsa, Lasi berusaha menjadi istri yang baik dan penurut, tetapi kenyataannya Darsa berulah, walaupun sebenarnya Darsa merasa dijebak oleh Bunek. Lasi lari ke Jakarta dengan cara menumpang truk yang disopiri Pardi, yang setiap bulan ke Jakarta hendak mengantar gula milik Pak Tir. Awal, Pardi takut dengan keputusan Lasi tersebut. Dia takut nanti disalahkan oleh keluarga Lasi. Namun Lasi bersikeras hendak ke Jakarta dan tinggal di sana, walaupun sebenarnya Lasi tidak tahu, apa tujuannya ke Jakarta. Lasi sendiri bingung, hendak mengapa dia tinggal di Jakarta. Tetapi tekadnya sudah bulat, yaitu harus jauh dari desanya. Harus jauh dari Darsa, suaminya.

                Lasi di Jakarta hidup sementara bersama bu Koneng, pemilik warung remang-remang tempat singgah para sopir truk. Seperti biasa konotasi warung remang-remang biasanya menyediakan wanita-wanita penghibur murahan. Sebenarnya Pardi tidak tega menitipkan Lasi di warung bu Koneng, karena Pardi tahu siapa bu Koneng itu. Tetapi karena Lasi bersikeras, mau tak mau Pardi menitipkan Lasi pada bu Koneng.

                Suatu saat bu Koneng kehadiran bu Lanting, seorang ibu yang begitu dikenal oleh bu Koneng. Wanita mucikari kelas atas. Biasa menyediakan wanita-wanita untuk golongan pejabat atau orang-orang tingkat tinggi. Seorang wanita professional, pintar penuh muslihat busuk. Melihat Lasi bu Lanting tertarik, dengan mengorbankan cincin berlian yang dimaui bu Koneng, akhirnya Lasi menjadi milik bu Lanting.
                Kehidupan Lasi berpindah ke tangan bu Lanting. Dia hidup di rumah bu Lanting. Disediakan kamar khusus. Tidak boleh mengerjakan apa pun. Dia dianggap anak angkat oleh bu Lanting. Kelicikan bu Lanting dalam menghadapi Lasi patut diacungi jempol. Sangat professional, sabar untuk mendapatkan sesuatu yang lebih besar diabnding dengan pengorbanan sebuah cicin berlian. Sebenarnya Lasi juga mencurigai kebaikan bu Lanting, tetapi keraguan itu hanya sesaat, karena Lasi berpikir, bahwa kebaikan bu Lanting, karena dia dianggap sebagai anaknya sendiri. Dan lagi Lasi beranggapan bahwa ketika seseorang memberi kebaikan maka juga harus dibalas dengan kebaikan juga, bahkan kalau harus menggadaikan diri, juga harus dijalani. Begitu pemikiran orang desa seperti Lasi.

                Jangan pernah menerima kebaikan yang tak ada alasan
                Kebaikan akan menjadi bumerang
                Suatu saat akan diminta kembali
                Dan tak dapat mengelak

                Pak Han, lengkapnya Handarbeni. Seorang petinggi di PT Bagi-Bagi Niaga. Sebuah perusahaan nasional yang berasal dari perusahaan asing yang sudah dinasionalisasi. Pejabat yang doyan gonta-ganti pacar. Baginya uang tidak ada masalah, yang terpenting kebutuhan akan wanita bisa terpenuhi. Begitu pula saat dia melihat Lasi, yang notabene keturunan Jepang. Pak Han langsung suka. Segala keinginan bu Lanting dia penuhi asalkan Lasi bias menjadi istrinya. Perkara surat cerai dan surat nikah, dengan mudah pak Han bias mencarikan. Apa sih yang tidak bisa di Indonesia ini. Asal ada uang, segalanya bisa beres. Itulah kenyataan yang terjadi di masyarakat kita sampai saat ini. Segala sesuatu diukur dengan uang. Tohari dengan berani menampilkan adegang sosial di masyarakat kita. Kebobrokan birokrasi yang bisa dibeli dengan uang.

                Lasi akhirnya dijadikan istri oleh Handarbeni. Walaupun segala kebutuhan materi dari rumah, tabungan, dan segala kebutuhan sebagai istri dan wanita terpenuhi, namun Lasi tidak mengecap sedikit pun bahagia, karena ternyata pak Han tidak “jantan”. Bahkan pak Han mengusulkan agar Lasi mencari laki-laki lain, asalkan dia tetap menjadi istrinya. Sebuah permainan drama kehidupan yang bisa kita temukan di Jakarta. Sebuah kota metropolis yang sudah lama meninggalkan khasanah budaya adat ketimuran. Sebuah kenyataan pahit yang tidak bisa diterima oleh nalar manusia yang wajar. Tetapi itulah hal nyata yang ada saat ini. Ketertarikan pak Han pada Lasi terobsesi pada kesukaannya pada bintang film  barat yang menyerupai orang Jepang. Bekisar Merah, begitu dia menyebut Lasi, setelah melihat potret Lasi berbalut kimono merah. Bekisar adalah ayam cantik, perpaduan antara ayam hutan dan ayam kampong. Gambaran pas untuk Lasi.

                Kepahitan hidup Lasi ternyata tidak berhenti. Lepas dari tangan pak Handarbeni, sekarang Lasi harus melayani  jadi istri pak Bambung. Seorang tokoh di Jakarta yang sangat disegani semua orang, mulai dari pejabat setingkat  bupati/walikota sampai tingkat duta besar. Semua mengenal pak Bambung. Segala kebijakan di negeri ini semua harus melewati pak Bambung. Beliau bukan pejabat, beliau bukan seorang menteri, tetapi daya pengaruhnya luar biasa. Dia bisa masuk dalam koridor-koridor pemerintahan sampai pada pejabat pembuat kebijakan dan keputusan. Lobi-lobi cerdik dan selalu dibumbui uang di amplop tak pernah lepas dari trik-trik yang dijalankan pak Bambung. Segala keinginan apa pun bila melalui pak Bambung akan beres secara cepat. Dengan menjalankan kehidupan yang demikian, pak Bambung tidak kurang suatu apa pun. Segala keinginannya mudah sekali terkabul. Dan tidak seorang pun yang mampu menentangnya. Demikian pula ketika menghendaki Lasi jadi istrinya, dia rela menghadiahkan seuntai kalung berlian yang mahal, yang tidak semua wanita bias memiliki. Bu Lasting, sebagai calo tingkat tinggi sangat berperan terhadap keberhasilan memberikan Lasi kepada pak Bambung. Dengan kelicikan professional, bu Lanting berhasil membujuk Lasi, walaupun saat itu masih sah menjadi istri pak Handarbeni. Tetapi seperti biasa, uang pandai menyelesaikan sesuatu yang sederhana sampai yang rumit.

                Lasi melarikan diri bersama Kajat, untuk menghindari paksaan pak Bambung. Kajat berniat mengantarkan Lasi ke Sulawesi ke rumah saudaranya. Mungkin di sana dia bisa bersembunyi barang sejenak. Melihat kenekatan Lasi, dan atas pertimbangan kepatutan yang masih berlaku di masyarakat desa, maka atas persetujuan orang tua Lasi, Eyang Mus menikahkan mereka secara agama. Tetapi dalam pelarian Lasi dan Kajat akhirnya tertangkap orang suruhan pak Bambung. Lasi dipaksa kembali ke Jakarta dan menempati rumah yang sudah disiapkan pak Bambung. Di rumah itu Lasi tidak mau makan dan minum sampai badannya kurus. Dan pak Bambung sudah uring-uringan. Pak Bambung minta pertolongan bu Lanting agar mau membujuk Lasi. Bu Lanting menyanggupi asal pak Bambung mampu bersabar.
                Selama di rumah barunya Lasi ternyata sudah mengandung anak Kajat. Melihat hal itu Pak Bambung marah besar. Baginya pantang untuk menyentuh wanita yang sedang hamil. Bu Lanting dengan cerdik berhasil menjinakkan pak Bambung. Dan Pak Bambung dengan sabar menanti sampai Lasi melahirkan. Karena niat untuk memaksa Lasi menggugurkan kandungannya ditentang Lasi. Bahkan Lasi nekat akan mengakhiri hidupnya apabila dipaksa untuk menggugurkan kandungannya. Dengan cerdik Lasi berhasil merayu pak Bambung. Dia diberi kepercayaan untuk menerima segala bentuk surat yang ditujukan kepada pak Bambung. Surat-surat itu kebanyakan permintaan dari orang-orang tertentu yang minta dilicinkan kepentingannya. Dan biasanya kalau surat sudah diterima oleh Lasi, mereka akan mentransfer uang ke rekening Lasi. Awal, Lasi tidak mengetahui bahkan tidak mengerti maksud orang-orang mentransfer uang ke rekeningnya. Lambat laun Lasi menyadari dan membiarkan hal itu terjadi.

                Sementara Lasi ada di rumah pak Bambung, Kajat dengan sabar selalu menanti kabar Lasi. Walaupun dalam hati Kajat, sesekali timbul kecurigaan bahwa Lasi sudah pernah diperdaya oleh pak Bambung. Tetapi Lasi meyakinkan dan mengharapkan kesabaran Kajat, bahwa dia belum pernah disentuh oleh Pak Bambung. Karena suaminya tidak mau menyentuh wanita yang sedang hamil.

                Dalam perjalanan waktu, orang-orang yang berkepentingan pada negeri ini semakin merasa muak dengan tingkah pak Bambung. Mereka semakin banyak mengeluarkan uang untuk urusan tertentu, karena harus melewati pak Bambung. Suatu saat mereka menjebak pak Bambung, maka terungkaplah ketidakberesan pak Bambung. Pak Bambung ditangkap, sedang Lasi pun juga ikut ditangkap. Melihat kenyataan Lasi ditangkap, Kajat minta pertolongan temannya yang sudah menjadi pengacara. Dengan kelihaian temannya, maka Lasi bisa bebas dan hidup bersama dengan Kajat.

                Seperti ciri khas karya Ahmad Tohari, yaitu selalu menggambarkan kebobrokan negeri ini, yang mungkin tidak disadari oleh kita semua. Atau mungkin kita tahu, tetapi tidak mampu memenggal intrik-intrik kotor yang berlangsung dan mendarah daging di masyarakat kita. Lebih dari itu Tohari juga sering menggunakan latar masyarakat kelas bawah, namun masih menjunjung etika sosial yang berlaku, walaupun harus bergumul dengan konflik batin yang berkepanjangan.

                Semoga dengan membaca “Bekisar Merah” kita bisa mengambil teladan dari tokoh Lasi, yang begitu kukuh mempertahankan karakteristik hidup, tak mudah terimbas oleh sesuatu yang menyilaukan mata, walaupun pengetahuan hidup yang disadarinya hanya sebatas kesederhanaan.
                Gusti Allah ora sare
                Ana kapesten, kabecikan ngalahake kang asor



                                                                                                                                                Surabaya, 28 September 2019
                                                                                                                                                EdieS.- 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar