05 Oktober 2009

Lathi

Ungkapan adalah jati diri yang tampak pada kalimat yang diucapkan. Dalam bahasa Jawa Lathi kuwi luwih landhep tinimbang glati, Tutur kata itu lebih tajam daripada sebuah pisau. Kadang dalam keseharian seseorang dengan baju kebesarannya, duduk betopang dengan jati diri yang dianggap paling hakiki, tidak memperdulikan orang lain. Dengan menyandang pangkat di bahu kiri dan kanan, berusaha menunjukkan wibawa yang jauh dari arti kewibawaan itu sendiri. Berusaha menjadi sosok yang sempurna. Tindak tanduk yang menyiratkan kaum ningrat, kaum terpelajar, Adi luhung, adi busana, adi tata, namun semua itu hanya lipstick, menempel, bergelayut tapi jauh dari kebenaran. Indah dipandang. Indah untuk dinikmati, namun berisi kebohongan. Lathi glati, Tutur kata yang sangat menyakitkan, membelah dada, menyobek nurani, merendahkan, meremehkan. Tak terasa memang, tapi sebelum berkata hendaknya mampir dulu di otak dirasakan maknanya, baru berucap dengan santun. Bukan kebalikannya, bicara dulu baru mampir di otak.
Entah sadar atau tidak, kita hidup sudah berpuluh tahun. Uban sudah menghiasi sebagian besar dari parade rambut hitam. Namun begitu lathi sering melalaikan manfaat, dan selalu menyakitkan. Apakah tidak bisa berubah seperti sehelai rambut hitam? Bisa, bila mau instropeksi diri sendiri. Mementingkan kepentingan umum, daripada kepentingan pribadi, atau kelompoknya. Dan yang penting selalu berprasangka positif. Jauh dari suudhon.

Lathi kuwi jejeging diri. Lathi kang tumata bakal menjadi citra diri kang luwih becik. Aura kewibawaan akan muncul dengan sendirinya. Tak perlu untuk menciptakannya. Tapi apabila lathi kuwi sumebar ora nganggo tatanan, akan menjadi bumerang yang menyakitkan. Yang akan melemparkan diri kita ke tahi kerbau. Tak mempunyai makna.

Sumangga kita sedayah njagi lathi kathi reseking manah marang wong liya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar