13 Januari 2008

Bermain dengan Rindu



Bentangan air telaga nan jernih, dengan timpahan sinar mentari, menimbulkan binar-binar cemerlang bak mutiara di atas permadani bening. Di atasnya sepasang angsa putih bersih bersenda gurau memainkan melodi tentang kasih, tentang haru biru bercinta. Sedangkan angin yang lewat sejenak, membelai bulu-bulu angsa yang halus, menimbulkan aroma wewangian, menambah suasana romantis, bak surga di tanah Cina yang rupawan.

Ada kegelisahan di riak air. Gejolak lirih menimbulkan garis-garis melengkung, dari pusat membentuk lengkungan yang kian lebar, kian lebar hingga ke tepi telaga, dan pada akhirnya menghilang tanpa jejak. Sedang air jernih kembali jernih
.
Ketika angsa betina memagutkan kepalanya pada sang jantan. Ketika terdengar lenguh manja. Ketika mata bertemu mata. Ketika senyum bertemu senyum. Ketika bentangan daun-daun di sekitar telaga tak terhiraukan. Ketika angin tak terasakan lagi. Semuanya sekejap memainkan peran yang sama-sama berarti dan mempunyai makna. Nampak angsa betina tersenyum dengan tatapan mata berbinar, begitu pula dengan angsa jantan.

Tiba-tiba langit yang sedari tadi tampak bersahabat, dalam sekejap telah dipayungi mendung hitam tebal. Sedangkan angin tidak lagi mendayu tapi sudah berubah menjadi angin kencang. Riak air mulai nampak di telaga yang bening itu. Riaknya makin lama makin membesar hingga berubah menjadi gelombang yang menampar dinding tepi telaga. Sedang pohon-pohon rindang mulai meliuk-liuk mempertahankan kekokohannya.
Daun-daun yang seharusnya belum gugur dengan terpaksa gugur berjatuhan ke tanah dan tertiup angin, dibawa ke langit. Hewan serangga yang sedari tapi menikmati pemandangan indah yang diperankan kedua angsa tadi lari berhamburan menuju sarangnya. Sedangkan yang tidak sempat terbawa angin, terbang.

Satu dua titik-titik air mulai luruh. Membasahi tanah dengan rerumputan yang hijau. Tanah mulai basah dengan genangan-genangan air di sana sini. Daun-daun yang berserakan tak luput berlepotan dengan air. Angsa jantan sudah mulai naik di tepi telaga diikuti angsa betina. Sejenak mereka berdua bertatapan, tanpa suara, tanpa kedipan mata, tanpa makna. Gelegar dan kilatan petir membuyarkan pikiran mereka, tapi semuanya tidak bertahan lama. Kesunyian hadir di hati masing-masing. Tatapan mata, tak bermakna, senyum tak bermakna, hanya ada kegalauan yang hinggap dan menghuni di masing-masing hati mereka.

Air telaga mulai menggenangi kaki mereka. Hujan semakin lama semakin deras. Angin kelihatan sudah tidak bersahabat lagi. Pohon-pohon satu dua sudah mulai tumbang. Sedangkan rumput yang mereka pijak sudah tak tampak. Semuanya tergenang air yang sudah mulai keruh bercampur dengan tanah dan sisa-sisa daun yang tertinggal di tepi telaga itu. Keceriaan dan kesyahduan yang sejenak mereka nikmati tadi telah luluh lantak terhapus. Yang tersisa hanya di hati masing-masing.

Tanpa ada suara, tanpa ada tatapan, tanpa ada keceriaan, angsa jantan dan angsa betina mencari jalan sendiri-sendiri. Mencari jalan ke sarang mereka. Mencari kehidupan yang mereka anggap paling bersahaja. Berusaha menemukan kebenaran di atas kebenaran. Berusaha menemukan cinta di atas cinta. Berusaha menemukan kebahagiaan di atas kebahagiaan. Berusaha menemukan kesombongan di atas kesombongan. Sedangkan rasa rindu, dengan pongah mereka titipkan pada angin, pada hujan, pada halilintar, pada air, pada pohon, pada tepi telaga, yang sekarang sudah keruh airnya.

(Catatan perjalanan mencuri waktu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar