Sagra - Oka Rusmini
Apakah
hidup akan menyisakan sepotong kecil,
Seukuran
kuku kelingking, sedikit saja,
Keinginanku
yang bisa kutanam dan kusimpan sendiri?
Hyang
Widhi, apakah sebagai perempuan aku terlalu loba, tamak,
Sehingga
Kau pun tak mengizinkanku
Memiliki
impian?
Apakah
Kau laki-laki? Sehingga tak pernah
Kaupahami
keinginan dan bahasa perempuan
Sepertiku?
ESENSI
NOBELIA
Menceritakan
tentang suami istri yang sama-sama penyair. Mereka mempunyai anak, Nobelia
Prameswari. Lima tahun, mereka melewati masa-masa sulit. Walaupun begitu,
suaminya, Rifaset tetap tidak mau dibantu keluarganya. Baginya apapun yang
mendera mereka baik bahagia maupun senang akan ditanggung berdua.
Kedua
suami istri itu tidak mempunyai penghasilan tetap. Uang baru mereka terima,
bila hasil karya mereka bisa diterbitkan. Tetapi semenjak ada Nobelia
Prameswari, putri pertama mereka, maka mereka mulai berfikir tetang keinginan
dan masa depan.
Pada
akhirnya Rifaset mendapatkan pekerjaan sebagi penyunting buku filsafat dan seni
di sebuah penerbitan. Dengan pekerjaan tersebut sedikit banyak bisa membantu
asap dapur bisa mengepul.
Dikisahkan
juga Sobrah, tetangga yang sangat sayang
dan perhatian pada Nobelia. Akhir-akhir ini terjadi keanehan pada Nobelia. Bila
diberi makan, Nobelia hanya melihat dan memperhatikan saja, tanpa
menyentuhnya. Dan mulutnya keluar kata
‘esensi’. Hal tersebut terjadi juga,
ketika Nobelia diajak orang tuanya ke restoran. Ketika makanan disajikan,
Nobelia hanya diam. Matanya melotot, berkonsentrasi, melihat makanan tersebut.
Tanpa ekspresi. Dari mulutnya keluar
kata ‘esensi’.
“Menjadi penyair juga harus bisa berdiri
antara realita dan imajinasi”
HARGA
SEORANG PEREMPUAN
Cerpen
ini menceritakan pola tingkah ibu-ibu pejabat, yang mendapat warisan nama dari
suaminya yang benar-benar seorang pejabat. Segala tingkah laku ibu-ibu pejabat
di Indonesia, penuh kebohongan. Dalam kacamata mereka, bahwa sosok ibu pejabat
itu harus sempurna. Kesempurnaan mereka tidak boleh ada yang menyamai atau
menandingi. Harus eksklusif. Lain dari pada yang lain. Menyanjung dengan
kata-kata manis dan menjunjung adalah sebuah keharusan bagi ibu-ibu pejabat
yang lebih rendah. Kalau dalam khasanah bapak pejabat ada istilah ABS (Asal
Bapak Senang), maka dalam lingkungan ibu-ibu pejabat ada istilah AIS (Asal Ibu
Senang). Sebuah kebohongan jamaah atau bisa dikatakan kemunafikan.
Ada
satu kebiasaan yang kadang dilakukan
oleh ibu pejabat. Sudah seharusnya ibu pejabat itu orang nomor satu yang harus
memberikan contoh baik. Misalnya kalau ada slogan harus menjunjung hasil karya
bangsa sendiri, maka seharusnya ibu pejabat yang menjadi contoh. Hanya kadang ibu pejabat itu memakai pakaian
tradisional Indonesia, benar, kain dari Indonesia, tapi desaigner dari luar
negeri. Benar memakai parfum, harum-haruman dari khasanah pepohonan Indonesia,
kayu wangi, rerumputan, dll, tapi belinya di Paris. Sama juga bohong!
Kebohongan, kepalsuan, selalu mengular di lingkaran kehidupan sosial ibu-ibu
pejabat, dengan satu tujuan bisa mempertahankan jabatan yang dimiliki suaminya.
Pada
akhir cerita, ibu pejabat mendapat tamparan
manis, tidak terlalu keras dari pembantunya. Batur. Bahwa pembantunya tidak
ingin menjadi pejabat seperti ibu pejabat. Dia beranggapan dan melihat
kenyataan bahwa hidup ibu pejabat penuh kepalsuan. Dia lebih senang menjadi
diri sendiri. Walaupun hanya tamatan SD dan harus hidup di desa, tetapi dirinya
tidak pernah hidup dalam kebohongan. Dia menikmati hidup apa adanya.
Saya bahagia menjadi diri saya sendiri.
SEPOTONG
KAKI
Menceritakan
tentang seorang penari yang bernama Ida Putu Centaga Nareswari, yang dilahirkan
oleh Ni Luh Rubag, perempuan biasa, perempuan sudra. Centaga adalah penari yang
hanya mempunyai satu kaki, tetapi dia sangat dikagumi banyak laki-laki.
Centaga
lebih dekat dengan ibunya. Ayahnya tidak pernah memperhatikannya. Ayahnya
sedang sakit. Kadang kalau sedang kumat, ayahnya sering membuat onar. Orang
banyak yang takut. Suka berteriak-teriak dan melempar benda apa pun yang ada di
dekatnya. Kata dukun, ayahnya kemasukan roh pemilih griya yang mereka tempati
saat ini.
Centaga
pernah diragukan kemampuan menarinya, hanya karena dia mempunyai satu kaki.
Tetapi karena kegigihan Luh Karni dalam membimbing, akhirnya Centaga menjadi
seorang penari. Walaupun begitu, dia tetap tidak diperbolehkan menari Rejang,
saat upacara besar. Kata banyak orang kalau dia menari, akan banyak membawa
sial, kesengsaraan di desa itu.
Aku,
Centaga, melihat dan berfikir dengan hati. Dengan sigap, dipotonglah kaki
kirinya. Dengan demikian, dia berharap tidak ada seorang laki-laki pun yang
menyukainya. Baginya, banyak orang laki menyukainya karena kemolekan kakinya,
bukan dirinya. Dia menginginkan laki-laki menyukai dirinya karena apa adanya.
PESTA TUBUH
Cerpen “Pesta Tubuh”,
menceritakan penderitaan wanita-wanita kecil pada masa penjajahan Jepang di
Bali. Tubuh mereka dijadikan santapan para serdadu Jepang yang sudah haus
nafsu. Mereka sudah tidak lagi bisa disebut sebagai manusia. Apa yang ada
dihadapannya, dimakan dengan lahap tanpa menghiraukan bahwa wanita itu masih
berusia 10 atau 15 tahun. Setiap hari penderitaan itu berlangsung, bahkan
setiap wanita kecil itu harus melayani 5 sampai 10 serdadu Jepang setiap hari,
tanpa mendapat kesempatan waktu istirahat. Istirahat hanya berupa helaan
sejenak hanya untuk sekadar bernafas, dan mengeliat, menggerakkan tubuh mereka
yang kecil. Bagi yang tidak bisa mempertahankan diri, apalagi sudah terkena penyakit,
akhirnya dibuang atau dibiarkan penyakit menggerogoti tubuh mereka yang pada
akhirnya, ajal menjemputnya.
API SITA
Sebuah
cerpen yang mengisahkan seorang perempuan bernama Ni Luh Putu Sita. Ibunya
adalah perempuan biasa, perempuan sudra yang bernama Luh Sagrep. Tetapi yang
membuat pertanyaan adalah Luh Sagrep di desa Gombreng sangat disegani dan
dihormati oleh siapa pun, bahkan oleh kaum Brahmana. Melihat hal yang demikian
Sita sempat bertanya kepada Sawer. Tetapi anehnya Sawer yang seharusnya tahu
tentang ibunya, tidak berani untuk bercerita. Konon Luh Sagrep adalah wanita
pejuang yang sangat berjasa bagi perjuangan di Bali. Dia mengorbankan dirinya,
badanya dinikmati oleh kaum penjajah, dengan imbalan memperoleh berbagai
informasi tentang keberadaan gudang senjata atau rencana untuk menyerang. Semua
informasi itu dia berikan kepada para pejuang. Bahkan suaminya sendiri dia
bunuh, karena tidak setuju dengan perbuatan Luh Sagrep. Pada akhirnya Luh
Sagrep tertangkap Belanda, setelah berhasil membunuh komandan Belanda. Hanya
pengorbanan Luh Sagrep harus dibayar mahal, desa Gombreng diberhangus, dan
banyak rakyat desa itu yang dibunuh.
Sepeninggalan
ibunya, Sita sendiri mengikuti jejak ibunya. Dia menjadi seorang pejuang di
belakang layar, yaitu tetap memberikan tubuhnya untuk pasukan Jepang. Tetapi
karena merasa dikhianati oleh Sawer, maka Sawer dia bunuh, selanjutnya dia
bunuh diri.
SAGRA
....
CATATAN
KECIL
Oka
Rusmini dalam Sagra, mempunyai alur cerita yang agak rumit, sehingga bagi
pembaca pemula yang ingin menikmati alur apa adanya, alur konvensional akan
sedikit mengalami kesulitan. Lebih dari itu Sagra menyuguhkan sisi wanita di
masyarakat Bali yang mungkin tidak didapatkan di daerah lain di Indonesia.
Keunikan wanita Bali, sisi menarik wanita Bali dan sensualitas wanita Bali
tergambar dari budaya dan kebiasaan masyarakat Bali.
Mencoba
memaknai alur cerita harus secara keseluruhan membaca sampai tuntas. Sebab
kalau hanya membaca bagian per bagian tidak akan menemukan esensi dari kata-kata
yang terangkai menjadi kalimat.
Orang-orang tidak bisa lagi membuatkan aku
tempat. Aku bersaing dengan bayang-bayangku sendiri. Aku bergulat dengan
tubuhku sendiri. Aku berpikir tentang sesuatu yang kosong. Nihil semua, Ibu.
Aku ditempatkan di lorong-lorong kesucian. Kata mereka, aku adalah penyubur dan
penjaga akar kesunyian. Lihat, Ibu. Apa yang berada dalam genggaman tanganku?
Kebesaran dan rahasia negeri ini (Hal.43).
Sagra
juga menyuguhkan panorama masyarakat Bali yang masih kental dengan adat
istiadatnya serta tradisi keagamaan, walaupun modernitas dan suasana global
terus menerjang. Sedang pilihan kata yang dihadirkan cenderung gambaran wanita
Bali yang keras.
Aku sering jengkel apabila laki-laki yang telah kunikahi puluhan tahun
itu mulai menjejalkan dirinya berebut ruangan yang sempit (Hal. 34)
Aku melirik lelakiku. Bau napasnya hampir
meledakkan tubuhku (Hal.46)
Bila
pembaca, sudah sampai pada cerpen Sagra yang menjadi judul kumpulan cerpen ini, pembaca
akan menemukan suasana lain yang lebih bersahabat dalam hal alur cerita. Dalam
Sagra, pemilihan alur mengalir dengan deras, walaupun ciri khas Oka tidak pernah
ditinggalkan. Pilihan-pilihan kata yang menerjang dan tegas, masih menghiasi
cerpen-cerpen selanjutnya. Bila pembaca sudah terbiasa dengan ruang gerak kata
dan dinamika kalimat yang diciptakan oleh Oka, pembaca bisa melanjutkan karya
Oka yang lain, misalnya “Tempurung” atau “Kenanga”. Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar