Bekisar Merah - Ahmad Tohari
Hidup
Adalah sebuah perjalanan panjang
Ada yang tersirat
Banyak pula yang tersurat
Membelenggu, tapi tak erat
Kita wajib mengamini
Tapi tak ada salah, kita mencoba mencari
celah
Tuhan tak kan diam
Dalam semayamNya
Dia akan menghargai
Dan berusaha senyum dalam takdirNya
Sebuah
novel karya A. Tohari. Novel kedua yang saya baca, setelah saya tuntaskan
“Orang-Orang Proyek”. Kemahiran Tohari
dalam mendeskripsikan keadaan lingkungan sekitar masih tetap mendominasi dalam
novel “Bekisar Merah”. Topik yang diangkat tetap hangat, mengenai drama
kehidupan masyarakat kelas menengah ke bawah, dengan segala suka dukanya. Tak
lupa menyelipkan tokoh-tokoh antagonis yang
menyemarakkan konflik dalam perjalanan cerita tokoh utama, Lasi.
Cerita
pada bab 1, diawali dengan tiga paragraf pembuka, berupa deskripsi tentang
kebun yang dipenuhi pohon kelapa, tempat Darsa dan Lasi tinggal. Sebidang
tanah, di atasnya tumbuh beberapa pohon kelapa, penompang kehidupan keluarga
Darsa dan Lasi. Harapan hidup sehari-hari hanya ada pada pohon kelapa yang
setiap harinya diambil air nira yang akan dibuat gula aren. Memang di desa Karangsoga, sebagian besar
penduduknya hidup dari deres air nira
dari pohon kelapa yang akan dibuat gula aren. Kehidupan statis yang jauh dari
perubahan. Kehidupan yang jauh dari kata layak, serba kekurangan. Hari ini
membuat gula kelapa, dan hasilnya juga akan habis hari ini. Begitu seterusnya.
Hari boleh berganti. Hangatnya mentari boleh berubah, namun kehidupan
orang-orang di Karangsoga tak pernah berubah. Kehidupan mereka bergantung pada pongkor-pongkor yang bergelanjut di atas
pohon kelapa.
Pagi
hari seperti biasa Darsa, sudah pamit pada istrinya, pergi deres. Tidak ada
prasangka apa pun Lasi melepas kepergian suaminya. Darsa dengan sigap naik dari
satu pohon ke pohon yang lain. Tetapi tanpa diduga Darsa jatuh dari ketinggian
pohon kelapa. Dia dibawa Mukri sesama penderes diangkat pulang. Melihat keadaan
suaminya seperti itu, Lasi hanya bisa menangis. Lasi dan keluarganya sudah
berusaha membawa Darsa ke puskesmas di desa itu. Namun kesembuhannya terasa
lambat. Dokter menyarankan untuk membawa Darsa ke rumah sakit yang lebih besar
di kota. Kendala keuangan tetap menjadi hal utama untuk niat membawa Darsa ke
rumah sakit. Tetapi hal itu tetap dilakukan, karena Lasi menghendaki suaminya
bisa sembuh. Namun kenyataan berkata lain, selam pengobatan di rumah sakit,
keadaan Darsa tidak bisa sembuh seratus persen. Darsa masih sering mengeluarkan
air seni tanpa dia sadari. Karena biaya rumah sakit semakin mahal, maka Lasi
membawa suaminya pulang.
Mbok
Wiryaji, ibu Lasi datang ke rumah Eyang Mus karena bertengkar dengan suaminya.
Permasalahannya, Mbok Wiryaji tidak tega melihat keadaan Lasi, anaknya yang
menderita karena harus mengurus suaminya, Darsa yang sedang sakit dan tak
kunjung sembuh. Apalagi Darsa sering marah-marah tanpa ada alasan yang jelas.
Mbok Wiyaji berniat ingin mencarikan suami lain untuk Lasi. Apalagi Pak
Sambeng, seorang guru yang dulu pernah mengajar Lasi, ingin mempersunting Lasi.
Niat itu dulu pernah disampaikan kepada Lasi, tetapi Lasi tidak mau menerima
lamaran Pak Sambelng, karena Pak Sambeng sudah mempunyai istri. Kali kedua Pak
Sambeng menyampaikan niat awalnya lagi yaitu ingin memperistri Lasi, kebetulan
sekarang dia sudah menduda. Eyang Mus, marah dengan sikap Mbok Warji,
seharusnya sebagai orang tua itu bangga mempunyai anak seperti Lasi, yang tetap
setia menemani suaminya, walaupun suami sedang sakit. Bukan terus mencarikan
suami pengganti Darsa.
Konflik
batin pertama yang dialami oleh Lasi, digambarkan dengan apik oleh Tohari.
Gambaran seorang perempuan jawa, yang sudah mempunyai suami, akan selalu patuh
pada suaminya. Taat, apa pun keadaan suami harus sabar menerima keadaan. Lasi
begitu sabar merawat suaminya, walaupun sakit suaminya tidak kunjung sembuh.
Tidak ada niatan untuk meninggalkan suaminya. Dalam khasanah jawa, istri
mendapat sebutan garwo yang mempunyai
makna sigaraning nyawa. Bahwa seorang
istri adalah bagian dari suami yang tidak terpisahkan.
Pada
akhirnya Lasi mengobatkan Darsa ke dukun bayi yang terkenal di desa Karangsoga,
Bunek. Walaupun sempat disangsikan, bahwa Bunek bisa menyembuhkan Darsa. Namun
kenyataan berbicara lain. Darsa lambat laun bisa sembuh. Hanya sayang ternyata
Bunek mempunyai maksud jahat pada kebaikan yang telah dia berikan pada Darsa.
Bunek menyimpan maksud licik, yaitu berupaya bagaimana caranya anaknya yang
pincang, Sipah bisa mempunyai suami Darsa. Setelah hal itu terjadi, Lasi merasa
dikhianati Darsa, yang pada akhirnya Lasi melarikan diri ke Jakarta dengan
menumpang truk milik Pak Tir ayah Kajat, yang merupakan pengusaha yang membeli
gula orang-orang di desa Karangsoga.
Penggambaran
karakter Bunek dalam “Bekisar Merah” sebagai tokoh antagonis kurang dalam,
sehingga pembaca dikejutkan dengan keinginan Bunek untuk menjerumuskan Darsa,
sehingga dengan terpaksa menikahi Sipah. Sedang karakter Sipah tidak jelas.
Sipah digambarkan pincang tidak sempurna, sehingga dijauhi pemuda-pemuda, dan
jauh dari jodoh hidupnya.
Kejadian
yang menyakitkan Lasi terjadi ketika Darsa berbuat yang menyalahi aturan agama,
sehingga harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan mengawini Sipah.
Walaupun sebenarnya Darsa tidak siap dengan kenyataan seperti itu. Perkawinan
itu harus tetap terjadi. Melihat hal itu, Lasi melarikan diri dari desa
Karangsoga. Dia merasa dikhianati Darsa. Selama menjadi istri Darsa, Lasi
berusaha menjadi istri yang baik dan penurut, tetapi kenyataannya Darsa
berulah, walaupun sebenarnya Darsa merasa dijebak oleh Bunek. Lasi lari ke
Jakarta dengan cara menumpang truk yang disopiri Pardi, yang setiap bulan ke
Jakarta hendak mengantar gula milik Pak Tir. Awal, Pardi takut dengan keputusan
Lasi tersebut. Dia takut nanti disalahkan oleh keluarga Lasi. Namun Lasi
bersikeras hendak ke Jakarta dan tinggal di sana, walaupun sebenarnya Lasi
tidak tahu, apa tujuannya ke Jakarta. Lasi sendiri bingung, hendak mengapa dia
tinggal di Jakarta. Tetapi tekadnya sudah bulat, yaitu harus jauh dari desanya.
Harus jauh dari Darsa, suaminya.
Lasi di Jakarta hidup sementara
bersama bu Koneng, pemilik warung remang-remang tempat singgah para sopir truk.
Seperti biasa konotasi warung remang-remang biasanya menyediakan wanita-wanita
penghibur murahan. Sebenarnya Pardi tidak tega menitipkan Lasi di warung bu
Koneng, karena Pardi tahu siapa bu Koneng itu. Tetapi karena Lasi bersikeras,
mau tak mau Pardi menitipkan Lasi pada bu Koneng.
Suatu saat bu Koneng kehadiran
bu Lanting, seorang ibu yang begitu dikenal oleh bu Koneng. Wanita mucikari
kelas atas. Biasa menyediakan wanita-wanita untuk golongan pejabat atau
orang-orang tingkat tinggi. Seorang wanita professional, pintar penuh muslihat
busuk. Melihat Lasi bu Lanting tertarik, dengan mengorbankan cincin berlian
yang dimaui bu Koneng, akhirnya Lasi menjadi milik bu Lanting.
Kehidupan Lasi berpindah ke
tangan bu Lanting. Dia hidup di rumah bu Lanting. Disediakan kamar khusus.
Tidak boleh mengerjakan apa pun. Dia dianggap anak angkat oleh bu Lanting.
Kelicikan bu Lanting dalam menghadapi Lasi patut diacungi jempol. Sangat
professional, sabar untuk mendapatkan sesuatu yang lebih besar diabnding dengan
pengorbanan sebuah cicin berlian. Sebenarnya Lasi juga mencurigai kebaikan bu
Lanting, tetapi keraguan itu hanya sesaat, karena Lasi berpikir, bahwa kebaikan
bu Lanting, karena dia dianggap sebagai anaknya sendiri. Dan lagi Lasi
beranggapan bahwa ketika seseorang memberi kebaikan maka juga harus dibalas
dengan kebaikan juga, bahkan kalau harus menggadaikan diri, juga harus
dijalani. Begitu pemikiran orang desa seperti Lasi.
Jangan pernah menerima kebaikan yang tak ada alasan
Kebaikan
akan menjadi bumerang
Suatu
saat akan diminta kembali
Dan
tak dapat mengelak
Pak Han, lengkapnya Handarbeni.
Seorang petinggi di PT Bagi-Bagi Niaga. Sebuah perusahaan nasional yang berasal
dari perusahaan asing yang sudah dinasionalisasi. Pejabat yang doyan
gonta-ganti pacar. Baginya uang tidak ada masalah, yang terpenting kebutuhan
akan wanita bisa terpenuhi. Begitu pula saat dia melihat Lasi, yang notabene
keturunan Jepang. Pak Han langsung suka. Segala keinginan bu Lanting dia penuhi
asalkan Lasi bias menjadi istrinya. Perkara surat cerai dan surat nikah, dengan
mudah pak Han bias mencarikan. Apa sih yang tidak bisa di Indonesia ini. Asal
ada uang, segalanya bisa beres. Itulah kenyataan yang terjadi di masyarakat
kita sampai saat ini. Segala sesuatu diukur dengan uang. Tohari dengan berani
menampilkan adegang sosial di masyarakat kita. Kebobrokan birokrasi yang bisa
dibeli dengan uang.
Lasi akhirnya dijadikan istri
oleh Handarbeni. Walaupun segala kebutuhan materi dari rumah, tabungan, dan
segala kebutuhan sebagai istri dan wanita terpenuhi, namun Lasi tidak mengecap
sedikit pun bahagia, karena ternyata pak Han tidak “jantan”. Bahkan pak Han
mengusulkan agar Lasi mencari laki-laki lain, asalkan dia tetap menjadi
istrinya. Sebuah permainan drama kehidupan yang bisa kita temukan di Jakarta.
Sebuah kota metropolis yang sudah lama meninggalkan khasanah budaya adat
ketimuran. Sebuah kenyataan pahit yang tidak bisa diterima oleh nalar manusia
yang wajar. Tetapi itulah hal nyata yang ada saat ini. Ketertarikan pak Han
pada Lasi terobsesi pada kesukaannya pada bintang film barat yang menyerupai orang Jepang. Bekisar
Merah, begitu dia menyebut Lasi, setelah melihat potret Lasi berbalut kimono
merah. Bekisar adalah ayam cantik, perpaduan antara ayam hutan dan ayam
kampong. Gambaran pas untuk Lasi.
Kepahitan hidup Lasi ternyata
tidak berhenti. Lepas dari tangan pak Handarbeni, sekarang Lasi harus melayani jadi istri pak Bambung. Seorang tokoh di
Jakarta yang sangat disegani semua orang, mulai dari pejabat setingkat bupati/walikota sampai tingkat duta besar.
Semua mengenal pak Bambung. Segala kebijakan di negeri ini semua harus melewati
pak Bambung. Beliau bukan pejabat, beliau bukan seorang menteri, tetapi daya
pengaruhnya luar biasa. Dia bisa masuk dalam koridor-koridor pemerintahan sampai
pada pejabat pembuat kebijakan dan keputusan. Lobi-lobi cerdik dan selalu
dibumbui uang di amplop tak pernah lepas dari trik-trik yang dijalankan pak
Bambung. Segala keinginan apa pun bila melalui pak Bambung akan beres secara
cepat. Dengan menjalankan kehidupan yang demikian, pak Bambung tidak kurang
suatu apa pun. Segala keinginannya mudah sekali terkabul. Dan tidak seorang pun
yang mampu menentangnya. Demikian pula ketika menghendaki Lasi jadi istrinya,
dia rela menghadiahkan seuntai kalung berlian yang mahal, yang tidak semua
wanita bias memiliki. Bu Lasting, sebagai calo tingkat tinggi sangat berperan
terhadap keberhasilan memberikan Lasi kepada pak Bambung. Dengan kelicikan
professional, bu Lanting berhasil membujuk Lasi, walaupun saat itu masih sah
menjadi istri pak Handarbeni. Tetapi seperti biasa, uang pandai menyelesaikan
sesuatu yang sederhana sampai yang rumit.
Lasi melarikan diri bersama
Kajat, untuk menghindari paksaan pak Bambung. Kajat berniat mengantarkan Lasi
ke Sulawesi ke rumah saudaranya. Mungkin di sana dia bisa bersembunyi barang
sejenak. Melihat kenekatan Lasi, dan atas pertimbangan kepatutan yang masih
berlaku di masyarakat desa, maka atas persetujuan orang tua Lasi, Eyang Mus
menikahkan mereka secara agama. Tetapi dalam pelarian Lasi dan Kajat akhirnya
tertangkap orang suruhan pak Bambung. Lasi dipaksa kembali ke Jakarta dan
menempati rumah yang sudah disiapkan pak Bambung. Di rumah itu Lasi tidak mau
makan dan minum sampai badannya kurus. Dan pak Bambung sudah uring-uringan. Pak
Bambung minta pertolongan bu Lanting agar mau membujuk Lasi. Bu Lanting
menyanggupi asal pak Bambung mampu bersabar.
Selama di rumah barunya Lasi
ternyata sudah mengandung anak Kajat. Melihat hal itu Pak Bambung marah besar.
Baginya pantang untuk menyentuh wanita yang sedang hamil. Bu Lanting dengan
cerdik berhasil menjinakkan pak Bambung. Dan Pak Bambung dengan sabar menanti
sampai Lasi melahirkan. Karena niat untuk memaksa Lasi menggugurkan
kandungannya ditentang Lasi. Bahkan Lasi nekat akan mengakhiri hidupnya apabila
dipaksa untuk menggugurkan kandungannya. Dengan cerdik Lasi berhasil merayu pak
Bambung. Dia diberi kepercayaan untuk menerima segala bentuk surat yang
ditujukan kepada pak Bambung. Surat-surat itu kebanyakan permintaan dari
orang-orang tertentu yang minta dilicinkan kepentingannya. Dan biasanya kalau
surat sudah diterima oleh Lasi, mereka akan mentransfer uang ke rekening Lasi.
Awal, Lasi tidak mengetahui bahkan tidak mengerti maksud orang-orang
mentransfer uang ke rekeningnya. Lambat laun Lasi menyadari dan membiarkan hal
itu terjadi.
Sementara Lasi ada di rumah pak
Bambung, Kajat dengan sabar selalu menanti kabar Lasi. Walaupun dalam hati
Kajat, sesekali timbul kecurigaan bahwa Lasi sudah pernah diperdaya oleh pak
Bambung. Tetapi Lasi meyakinkan dan mengharapkan kesabaran Kajat, bahwa dia
belum pernah disentuh oleh Pak Bambung. Karena suaminya tidak mau menyentuh
wanita yang sedang hamil.
Dalam perjalanan waktu,
orang-orang yang berkepentingan pada negeri ini semakin merasa muak dengan
tingkah pak Bambung. Mereka semakin banyak mengeluarkan uang untuk urusan
tertentu, karena harus melewati pak Bambung. Suatu saat mereka menjebak pak
Bambung, maka terungkaplah ketidakberesan pak Bambung. Pak Bambung ditangkap,
sedang Lasi pun juga ikut ditangkap. Melihat kenyataan Lasi ditangkap, Kajat
minta pertolongan temannya yang sudah menjadi pengacara. Dengan kelihaian
temannya, maka Lasi bisa bebas dan hidup bersama dengan Kajat.
Seperti ciri khas karya Ahmad
Tohari, yaitu selalu menggambarkan kebobrokan negeri ini, yang mungkin tidak
disadari oleh kita semua. Atau mungkin kita tahu, tetapi tidak mampu memenggal
intrik-intrik kotor yang berlangsung dan mendarah daging di masyarakat kita.
Lebih dari itu Tohari juga sering menggunakan latar masyarakat kelas bawah,
namun masih menjunjung etika sosial yang berlaku, walaupun harus bergumul
dengan konflik batin yang berkepanjangan.
Semoga dengan membaca “Bekisar
Merah” kita bisa mengambil teladan dari tokoh Lasi, yang begitu kukuh mempertahankan
karakteristik hidup, tak mudah terimbas oleh sesuatu yang menyilaukan mata,
walaupun pengetahuan hidup yang disadarinya hanya sebatas kesederhanaan.
Gusti Allah ora sare
Ana
kapesten, kabecikan ngalahake kang asor
Surabaya,
28 September 2019
EdieS.-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar