Pengakuan Pariyem - Linus Suryadi AG.
Pengakuan
Pariyem adalah salah satu karya dari Linus Suryadi AG. Di samping itu masih ada
beberapa karya lain, yang masih seputar karya sastra, yaitu Perang Troya
(Cerita Ulang Anak-Anak), Langit Kelabu (Kumpulan Sajak), serta beberapa dalam
bentuk kumpulan esai, kumpulan puisi.
Beberapa penghargaan pernah diraihnya, yaitu tahun 1984 untuk bidang sastra
meraih Hadiah Seni dari Pemerintah Provinsi DIY, tahun 1979 memenangkan hadiah
II lomba penulisan puisi yang diselenggarakan oleh BBC London Seksi Bahasa
Indonesia untuk mengenang Almarhun Aoh K. Hadimadja, dan Kumpulan Puisi Rumah
Panggung mendapat penghargaan dari Pusat Bahasa tahun 1994.
Keunikan
dari Pengakuan Pariyem sebuah novel adalah, prosa berbentuk puisi atau yang
biasa disebut Prosa Lirik. Namun semua itu tidak mengurangi keindahan dari
novel tersebut. Rentetan kata atau frasa berulang sering kita dapatkan dalam
novel ini. Bukan hal yang menjemukan tapi malah membuat suasana dan penekanan
lebih bermakna.
Beribu-ribu tikus
Berjuta-juta wereng
Datang dan pergi
Silih berganti
Beribu-ribu tikus
Berjuta-juta wereng
Datang dan pergi
Berulang kali
Beribu-ribu tikus
Berjuta-juta wereng
Mengobrak-abrik harapan petani
Mengobrak-abrik kehidupan kami
Beribu-ribu tikus
Berjuta-juta wereng
Seperti siluman datang
Seperti siluman pergi
Beribu-ribu tikus
Berjuta-juta wereng
Dari mana mereka datang
Dan ke mana mereka pergi
“Dunia
Batin Seorang Wanita Jawa”, tergambar dalam keseluruhan cerita ini. Mulai dari
nama tokoh, latar, suasana, budaya, terlebih sifat dan sikap orang jawa. Tokoh sentral dalam Pengakuan Pariyem adalah
seorang wanita yang bernama Pariyem, lengkapnya Maria Magdalena Pariyem. Dilahirkan
di Wonosari Gunung Kidul , dari seorang
Ledhek yang bernama Parjinah. Di dunia pesindhenan terkenal dengan nama Niken
Madu Kenter. Dan Ayah yang bernama Karso Suwito, Gonjing nama panggilannya.
Keluarga seniman tradisional jawa. Pariyem adalah sosok wanita jawa yang sabar,
trimo ing pandum. Tidak ngegeh mangsa, selalu berpikir positif, tidak mau
protes, dan selalu menerima apa adanya. Walaupun yang diterima itu sebuah
musibah, tokoh Pariyem tidak pernah menyalahkan siapa pun, terlebih harus
menyalahkan Tuhan, tidak pernah ada dalam pikirannya. Dalam novel ini, tokoh
Pariyem digambarkan sebagai wanita yang mengabdi kepada majikannya. Apa pun
yang dilakukan majikan terhadapnya, dia tidak pernah selak atau membangkang.
Baginya sudah bisa bekerja sebagai babu pada priyayi Ngayogyakarta, nDoro
Kanjeng Cokro Sentono merupakan suatu anugrah yang harus disyukuri.
Ada
beberapa hal unik yang kita dapatkan pada “Pengakuan Pariyem”. Pengarang yang
notabene asli wong Jogya, yang setiap harinya mengenal budaya dan kebiasaan
orang jawa berusaha njlentrehkan nuansa-nuansa jawa, yang tergambarkan dalam
idiom atau istilah atau peribahasa yang hidup subur di lingkungan orang jawa.
Idiom atau peribahasa tersebut mengandung makna yang dalam, mencerminkan
budaya, dan trade mark jawa.
Bibit, bobot, bebet
Madeg, manthep, madhep
Karsa, kerja, karya
Lirih, laras, lurus
Titis, tatas, tetes
Wani ngalah, luhur wekasanipun, suatu
ajaran bahwa dengan mengalah bukan berarti kalah, tetapi kita berusaha untuk
tidak memperpanjang masalah. Dengan cara demikian suatu masalah akan cepat
terselesaikan. Dan keputusan terakhir yang paling hakiki hanya dari Tuhan
semata. Allah ora sare!
Selain
cerita yang runtut, walaupun beberapa kali ada kilas balik ke kehidupan lama
Pariyem, namun Pengarang berhasil menyisipkan keagungan budaya Jawa. Pengarang
berhasil menggiring, mengajak, atau pun sedikit memaksa pembaca untuk mengingat
bahwa kalau bukan kita yang ngleluri budaya Jawa terus siapa lagi.
“Kita sendiri punya peradaban, Iyem
Apabila bukan kita yang
menghargai
Malah malu dan meremehkan, itu
aib
Siapa yang mengangkat
martabatnya?”
Kepiawaian
pengarang dalam menjelaskan berbagai nama dalang, pesinden, tentang kehidupan
dalang dan pesinden di mata orang awam serta tembang-tembang dolanan lebih
memperkuat karakter Linus sebagai orang Jawa tulen.
Tak
lupa diselipkan juga kebiasaan orang Jawa ketika hari Raya Idul Fitri. Dalam
satu keluarga biasanya akan mengadakan ritual sungkem, minta doa dan mohon maaf
kepada yang lebih tua. Dalam buku itu disertakan kalimat apa yang kita ucapkan.
Di zaman yang sudah modern ini, terutama generasi muda tentu ewuh pakewuh
ketika akan sungkem, akan mengucapkan kalimat apa.
Orang
yang lebih muda :
“Kula sowan wonten ing
Ngarsanipun mbah putri
Sepisan : Nyaosaken sembah
pangabekti
Mugi katur ing ngarsanipun
simbah
Ongko kalih : mbok bilih wonten
Klenta-klentunipun atur kula
saklimah
Tuwin lampah kula satindak
Ingkang kula jarag lan mboten
kula jarag
Ingkang mboten ndadosaken
sarjuning panggalih
Mugi simbah karsa maringi
gunging samodra pangaksami
Kula suwun kaleburna ing dinten
Riyadi punika
Lan ingkang wayah nyuwun berkah
saha pangestu”
Orang tua
:
“Semana uga aku, wong tuwa
Uga akeh klera-klerune
Kowe uga ngagungna pangapura
Ora luwih, kowe bisaa
Kabul kang dadi ancas
Lan dadi ketujuanmu
Ora luwih, aku wong tuwa
Mung bisa ndedunga marang
Pangeran
Iya, kowe dak pangestoni”
“Pengakuan
Pariyem” dalam kacamata saya, berusaha menyuguhkan bahwa dalam lingkungan
keluarga berdarah biru, bangsawan, atau kaum ningrat, masih ada sedikit unggah-ungguh
sosial. Misalnya ketika Pariyem ternyata hamil karena polah gawe Raden Bagus
Ario Atmojo, putra dari nDoro Kanjeng Cokro Sentono. Raden Bagus mengakui bahwa
itu perbuatannya. Sedangkan nDoro Kanjeng pun ora selak, bahwa Pariyem hamil
karena memang akibat kelakuan anaknya.
Cerita dalam buku ini berusaha membuyarkan imajinasi pembaca yang mulai
tergiring pada cerita-cerita berlatar kaum ningrat, yang berusaha untuk menjaga
keningratannya, bahwa kasta ningrat itu sempurna dan benar. Tapi “Pengakuan
Pariyem” berbeda. Berusaha untuk membawa dan meramu imajinasi sosial, bahwa
yang salah harus menanggung segala akibatnya tanpa melihat strata dan latar
belakang kehidupannya, walaupun tidak seratus persen seperti itu. Karena pada
bagian akhir cerita, Pariyem harus dipulangkan ke Wonosari Gunung Kidul, ke
rumah orang tuanya untuk melahirkan
jabang bayinya, dan setelah itu kembali menjadi babu di rumah nDoro Kanjeng
Cokro Sentono, tanpa memiliki predikat anak mantu.
Bagi
pembaca yang awam dengan bahasa Jawa, tetapi ingin membaca “Pengakuan Pariyem”
tidak usah berkecil hati, karena Linus telah menyelipkan lampiran Daftar Kosa
Kata Jawa-Indonesia dan lampiran Terjemahan Tembang, Dolanan, Pantun, Ungkapan
dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian keinginan Linus untuk nguri-uri Bahasa
Jawa, agar tidak tenggelam di era modern ini bisa terwujud. Semoga!
Surabaya, 16 September 2019
EdieS.-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar