Canting - Arswendo Atmowiloto
Canting
adalah salah satu karya berupa novel dari Arswendo Atmowiloto. Karya dengan
latar belakang budaya dan masyarakat Jawa. Utamanya dengan setting kaum bangsawan
atau kaum keraton.
Dikisahkan kehidupan Raden Ngabehi Sestrokusumo
yang mempunyai usaha batik di rumahnya, Ndalem Ngaben Sestrokusuman. Pak Bei
mempunyai istri yang biasa dipanggil Bu Bei. Bu Bei adalah tipe wanita Jawa
yang ulet, pekerja keras dan ngabekti
pada suami. Bu Beilah yang menjalankan usaha batik. Suami istri tersebut dikaruniai
lima orang anak. Pertama, Wahyu Dewabrata, kedua Lintang Dewanti, ketiga Ismaya
Dewakusuma, keempat Bayu Dewasunu, dan yang bungsu Wening Dewanti. Sedangkan di
rumah itu terdapat beberapa orang abdi dalem atau mungkin bisa disebut pembantu
atau babu. Jimin, bertanggung jawab untuk memelihara ikan Maskoki, segala
tanaman di rumah tersebut serta ayam hutan dan beberapa burung perkutut. Yu
Kerti bertanggung jawab untuk menyiapkan makanan setiap harinya, Sedangkan yang
mengurus cucian adalah Mbok Tuwuh.
Kalangan
ningrat mempunyai kebiasaan pada malam Jumat Kliwon untuk berkumpul. Setiap
istri harus tahu dan rela untuk melepas suaminya semalam suntuk tanpa alasan.
Kumpul-kumpul tersebut awalnya diadakan di lingkungan keraton, tetapi banyak
masyarakat di sekitar yang protes, karena dianggap pesta-pesta tersebut
menyakitkan hati rakyat, yang saat itu berada di lingkaran kemiskinan.
Menyadari hal tersebut, maka atas inisiatif Pak Bei pertemuan kebudayaan yang
dikemas dengan nama Nguri-Uri Kabudayan Jawi tersebut dilaksanakan di Taman
Ronggowarsito, Njurug, di tepi Bengawan Solo. Hanya saja tetenger berbalur
kebudayaan tersebut tidak nampak dalam kegiatan mereka. Ningrat yang kumpul
mempunyai kebiasaan buruk, yaitu meneguk minuman keras (arak), dan main
perempuan. Jadi jauh dari kegiatan kebudayaan.
Pada
bagian berikutnya diceritakan tentang Pasar Klewer. Bu Bei dibantu Yu Tun dan
Yu Mi, mulai menata batin dagangan. Geliat Pasa Klewer sudah dimulai sejak
pagi. Sudah banyak pedagang yang mengais rezeki di pasar ini. Tidak hanya
pedagang, buruh angkut, tukang becak dan tukang sapu pun kebagian rezeki.
Perputaran uang mencapai ratusan bahkan jutaan di pasar rakyat ini. Segala
strata kehidupan, jabatan, ketika sudah masuk ke pasar ini, sudah tidak
berlaku. Yang ada hanya penjual dan pembeli. Keduanya mempunyai kedudukan yang
sama.
Kilas
balik, diceritakan bagaimana rasa sayangnya Bu Bei pada anak pertamanya. Anak
lanang, Wahyu Dewabrata. Sebuah kebanggaan bagi istri bisa mempersembahkan anak
pertama laki-laki. Dan sebuah kebanggaan juga pada Pak Bei. Rasa sayang Bu Bei
yang kelewat sampai protektif pada anak lanangnya. Suatu ketika Wahyu
menghilangkan cincin pemberian ayahnya. Ketika memberitahu Pak Bei, wahyu
dimarahi habis-habisan. Wahyu dianggap tidak bisa bertanggung jawab. Namun, Bu
Bei dengan sabar membela anaknya, bahkan membelikan cincin baru lagi untuk
Wahyu. Kejadian seperti ini terjadi lagi, ketika Wahyu menabrak orang dan harus
berurusan dengan polisi. Bu Bei jugalah yang menyelesaikan permasalahan ini.
Saat
usia Wening sudah sebelas tahun , ternyata Bu Bei hamil lagi. Pak Bei sempat
curiga, bahwa yang dikandung Bu Bei adalah bukan anaknya. Bu Bei menunggu dan
menunggu kepastian yang akan disampaikan oleh Pak Bei. Kalaupun harus keluar
dari rumah, Bu Bei akan menuruti tanpa ada alasan untuk membangkang. Apapun
yang menjadi keputusan suaminya adalah mutlak. Sebagai istri hanya nurut kata
suami. Tetapi pada akhirnya sampai bayi lahir dan diberi nama Subandini
Dewaputri Sestrokusuma, Pak Bei tidak pernah mempermasalahkan kehamilan Bu Bei.
Setiap
kali pak Bei berulang tahun seluruh anak, menantu dan cucu-cucunya akan hadir.
Demikian ketika pak Bei ulang tahun di usia ke 64, seluruh anaknya, menantu,
dan cucu-cucunya hadir. Semua anaknya telah menikah, kecuali Subandini atau
biasa dipanggil Ni. Saat itu Ni sudah lulus sarjana, juga sudah mempunyai
pacar, Himawan. Namun Ni masih belum mau membina rumah tanggal. Hal itu menjadi
kecemasan bagi orang tua dan kakak-kakaknya. Sebab Ni sendiri mempunyai
cita-cita yang akan disampaikan langsung dihadapan kedua orang tuanya dan
kakaknya.
Saat
pertemuan keluarga, Ni berkesempatan menyampaikan keinginannnya untuk
melanjutkan usaha batik “Canting”. Namun, karena keinginannya itulah membuat bu
Bei langsung jatuh sakit dan harus dibawa ke rumah sakit. Tidak berapa lama
sakit bu Bei tidak kunjung sembuh, yang pada akhirnya bu Bei wafat. Niat Ni
sudah bulat bahwa dia ingin melanjutkan usaha batik milik keluarganya. Walaupun
dia menyadari bahwa dirinya tidak tahu menahu tentang dunia batik. Bahkan untuk
membedakan jenis canting saja tidak bisa. Banyak yang ingin diperbuat Ni dalam
perusahaan batik milik keluarganya tersebut. Terlebih dia melihat ketimpangan
selama ini. Banyak abdi dalam yang notabene menjadi pekerja batik, hidupnya
belum baik. Walaupun kenyataannya, pekerja batik tersebut tidak menuntut
banyak. Bagi mereka bisa mengabdi di rumah pak Bei merupakan sebuah kehormatan,
merupakan sebuah kebanggaan. Bisa untuk hidup, makan dan sedikit sandang bagi
mereka sudah cukup. Untuk niatnya tersebut Ni sampai harus mengorbankan jauh
dari Himawan, tidak membuka apotek, bahkan ketika perusahaan batik “Canting” di
ujung kebangkrutan, Ni rela menjual rumahnya di Semarang.
Perusahaan
batik “Canting” lambat laun tidak bisa dipertahankan, tergerus dengan
perkembangan zaman dan teknologi. Memang batik Canting mempunyai kualitas
tinggi karena dikerjakan dengan cara tradisional, memakai bahan dengan kualitas
bagus, dan dikerjakan dengan cermat dengan hati ikhlas. Tapi semua itu tidak
bisa untuk menghidupkan Canting, zaman sudah berubah, dengan teknologi
printing, hari ini cetak dan hari ini pula batik bisa dijual dalam jumlah
banyak. Demikian pula, pengguna atau konsumen batik tidak pernah lagi melihat
kualitas batik. Bagi mereka yang penting bisa memakai batik, itu sudah lebih
dari cukup. Kenyataan seperti itu yang tidak bisa diterima oleh Ni, yang apda
akhirnya Ni sakit. Keadaan Ni menjadi beban sendiri bagi kakak-kakaknya,
terlebih bagi pak Bei. Bahkan seumur-umur, baru pertama kali pak Bei menangis
ketika melihat keadaan anak bungsunya yang terkulai tak berdaya.
Canting
sudah tidak mungkin lagi hidup. Canting tetap menjadi canting walaupun tidak digunakan
membatik. Agar para pekerja batik Canting tetap bisa menghidupi keluarganya,
akhirnya perusahaan batik Canting tetap memproduksi batik tapi dengan
menanggalkan cap Canting.
Refleksi :
Novel Canting adalah gambaran tentang kehidupan di
masyarakat kita. Dengan latar budaya Jawa, Arswendo mencoba membuka mata hati
kita, bahwa untuk mempertahankan budaya yang telah kita miliki di tengah
gerusan modernisasi adalah upaya yang sulit. Terlebih tidak dibarengi rasa
andarbeni dalam diri kita. Bila budaya kita satu demi satu hilang, dan sebagai
pemilik budaya kita tidak mau berusaha untuk andarbeni, suatu saat kita tidak
akan mempunyai budaya. Sebuah negara, sebuah bangsa tanpa budaya tidak layak
disebut sebagai negara sekaligus sebagai bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar