Lomba Tari JMP
Alhamdulillah, puasa lagi
Ini hari masih bisa menikmati puasa Ramadhan dengan ceria dan sehat.
Minggu, 6 September 2009, untuk yang kesekian kalinya Windul ikut lomba menari. Kali ini lomba tersebut diadakan di JMP (Jembatan Merah Plasa). Lomba menari perseorangan. Awalnya pipit kecilku ini tidak mau mengikuti lomba tersebut. Tapi karena desakan ibunya, akhirnya Windul mau mengikuti acara tersebut, walau dalam keadaan terpaksa. Dengan terpaksa pula aku ikut memberi dukungan, agar putri semata wayangku ini mempunyai semangat.
Pukul 07.30 kami bertiga sudah berada di jalan menuju rumah Mailani, teman Windul, untuk rias dan berganti pakaian. Kebetulan rumah Mailani tersebut dekat dengan JMP, kurang lebih 300 meter dari pintu gerbang JMP. Sambil menunggu mereka yang berganti pakaian, saya mencoba menikmati Jembatan Merah, yang sudah tak merah lagi. Jembatan legendaris, bukti kepahlawanan arek-arek Suroboyo. Jembatan yang telah meminta beribu nyawa dengan lautan merah darah yang tertumpa di sekitanya. Saat ini Jembatan Merah kondisinya agak memprihatinkan apalagi kondisi di sekitarnya. Di kolong jembatan dengan jelas kulihat tumpukan sampah menggunung, Sedang di sekitar plengsengan jembatan, sampah dan semak belukar akur jadi satu, dan kulihat beberapa tunawisma tampak asyik hidup di sekitar Jembatan. Kondisi bangunan kuno di sekitar jembatan sama saja. Kumuh tidak terawat.
Tepat pukul 11.00 Windul dan ketiga temannya sudah siap menuju ke JMP. Sampai di JMP Baru lantai satu, ramai penuh sesak dengan pengunjung dengan tujuannya masing-masing. Di dekat lift sudah ada sebuah panggung yang hanya dihiasi sebuah sepanduk promosi. Kali ini Windul akan menari Tari Menthok. Sebuah tari yang menggambarkan seekor menthok dengan tingkah polahnya. Acara baru dimulai pukul 11.30, diawali dengan nomor peserta 11, ternyata nomor tersebut belum siap. Nah disini kelihatan penyelenggara acara tersebut aku katakan tidak profesional. Tidak ada aturan yang jelas mengenai pelaksanaan lomba. Sepengetahuanku ketika mengkuti kegiatan semacam ini, pasti ada aturan yang jelas. Misalnya daftar ulang harus jelas waktunya, kemudian apabila dipanggil tiga kali tidak datang, dianggap gugur, dan sebagainya. Tapi dalam acara ini tidak jelas. Dengan agak dongkol hal tersebut sempat juga saya tanyakan pada panitia. Tapi kemudian aku menyadari hari ini aku puasa, maka perasaan dongkol tersebut berusaha saya buang jauh-jauuuuuuhh. Takut pahala puasanya dikurangi.
Melihat penampilan anak-anak kecil yang berkompetisi tersebut tersirat rasa bangga, ternyata masih ada beberapa gelintir dari kita yang berusaha untuk melestarikan budaya asli Indonesia. bahkan pada kompetisi khusus remaja, rata-rata yang tampil sudah mahasiswi. Walaupun tidak mendapatkan juara, tetap semangat untuk melestarikan budaya Indonesia khususnya tari tradisional. Sempat juga Windul bertanya kepadaku. Pak ngak juara kan tidak apa-apa ya? Aku begitu trenyuh, mendengar pipit kecilku bertanya demikian. Sepertinya ada beban mental yang dia tanggung. Bahwa setiap ada lomba harus menjadi juara. Sejenak aku tak dapat berkata apa-apa. Beberapa detik kemudian aku kuatkan hati untuk mengatakan. Win, lomba itu ada yang menang dan ada juga yang kalah. memang bapak mengharapkan kamu menjadi juara, tetapi walaupun tidak juga tidak apa-apa. Yang penting kamu sudah menunjukkan bahwa kamu adalah putri bapak yang mampu untuk menari dihadapan orang banyak. Dan lomba ini jadikan pelajaran untuk berlatih mental. Sambil kudekap dia, kuacak menuju tempat parkir motor.
Alhamdulillah, aku telah dianugrahi seorang putri yang demikian peka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar