18 Oktober 2009

Sebenarnya

Sebenarnya,
Aku rindu
Sebenarnya,
Rindu ini hanya untukmu,
Sebenarnya,
Kau rindu aku atau tidak?

Gerakan Ngobrol Kembali

Ramai ...
Ramai lagi!
Ngomong ...
Ngomong lagi!
Teriak ...
Teriak lagi!
Ngobrol ...
Ngobrol lagi!
Ayo! kita ngobrol lagi
Ngobrol dengan topik ngalor ngidul
Biar Indonesia ini ceria
Biar Indonesia ini gembira
Biar Indonesia ini terkenal di seluruh dunia

Ayo! kawan-kawanku
Galakkan ngobrol di lingkunganmu
Ayo! kawan-kawanku
Ajak sanak saudara dan handai tolan
Untuk berasyik-asyik ngobrol
..........

Sayang ...
Ngobrolmu tak bermakna!

Separuh jiwa

Jelang petang kutidurkan jiwa
Istirahat dari tepian yang nanar
Menjauh dari keinginan yang mustahil
Melautkan gundah pada biru tua

Jelang petang, biduk tak berlabuh
Layar terbuka, kumal, tak berbentuk
Kunang bersembunyi di balik cahayanya
Camar sudah parau suaranya

Jelang petang, khusuk tawadhuk
Membalut gelap dengan desahan angin
Menerima rasa dengan separuh nafas
Sampai kini masih di angan

Berbalik, Kulalui Lagi

Merajuk menapaki satu jalan panjang
Membingkai dengan keinginan nyata
Satu tujuan. Tapi jelas
Merindukan senyum merah riang.
Memendar bak merkuri di gelap
Kakiku adalah alat
Sedang nurani adalah cita-cita

Aku terharu di ujung senja
Mencoba mencari tahu
Lika-liku memahami fatamorgana
Tiap detak detik membuatku semakin tak mengerti
Apakah menyerah?
Tidak!
Bagiku, lembayung adalah taruhan jiwa
Menelisik pekat tersembunyi
Menyisir waktu berteman kumbang
Melakonkan kisah orang lain

Keinginan untuk rindu sudah pasti
Sebuah kerinduan tak berujung
Bila terus kukejar
Aku tak akan pernah menemukan diriku.

14 Oktober 2009

Aku Terdiam

Aku terdiam. Dalam diam kutemukan kesunyian. Dalam sunyi bayangmu hadir dengan seulas senyum. Dalam senyummu terpatri luka. Luka yang pernah menyeleubungi jiwa. Jiwa yang sadar akan kedudukan diri. Diri yang tak pernah memaksa kehendak. Kehendakmu kau kekang dengan seutas keyakinan. Keyakinan yang lahir dari diri yang suci tanpa ada keinginan yang terselubung. Keinginanmu adalah membahagiakanku.

Dari : Cerita usang tak bertepi

Ribut Istilah Ibu dan Ayah

Kalau ibu, umi
Kalau ayah, abah

Kalau ibu, mama
Kalau ayah, papa

Kalau ibu, mami
Kalau ayah, papi

Kalau ibu, nyokap
Kalau ayah, bokap

Kalau ibu, memes
Kalau ayah, pepes

Kalau ibu, bunda
kalau ayah, panda

Nah, beres khan!

Cerita Paling Pendek

Aku bangun pagi.
Berhubung masih mengantuk, aku tidur lagi

Kutipu Kau

Hari Senin. Aku berhasil menipu kau.
Hari Selasa. Aku juga berhasil menipu kau.
Hari Rabu. Sekali lagi aku menipu kau.
Hari Kamis. Aku menipu kau lagi.
Hari Jumat. Aku bertobat ketika sholat Jumat di masjid.
Hari Sabtu. Aku ulangi menipu kau.
Hari Minggu. Aku tertipu.
Hari tanpa nama. Aku tak bisa menipu diriku sendiri.

05 Oktober 2009

Lathi

Ungkapan adalah jati diri yang tampak pada kalimat yang diucapkan. Dalam bahasa Jawa Lathi kuwi luwih landhep tinimbang glati, Tutur kata itu lebih tajam daripada sebuah pisau. Kadang dalam keseharian seseorang dengan baju kebesarannya, duduk betopang dengan jati diri yang dianggap paling hakiki, tidak memperdulikan orang lain. Dengan menyandang pangkat di bahu kiri dan kanan, berusaha menunjukkan wibawa yang jauh dari arti kewibawaan itu sendiri. Berusaha menjadi sosok yang sempurna. Tindak tanduk yang menyiratkan kaum ningrat, kaum terpelajar, Adi luhung, adi busana, adi tata, namun semua itu hanya lipstick, menempel, bergelayut tapi jauh dari kebenaran. Indah dipandang. Indah untuk dinikmati, namun berisi kebohongan. Lathi glati, Tutur kata yang sangat menyakitkan, membelah dada, menyobek nurani, merendahkan, meremehkan. Tak terasa memang, tapi sebelum berkata hendaknya mampir dulu di otak dirasakan maknanya, baru berucap dengan santun. Bukan kebalikannya, bicara dulu baru mampir di otak.
Entah sadar atau tidak, kita hidup sudah berpuluh tahun. Uban sudah menghiasi sebagian besar dari parade rambut hitam. Namun begitu lathi sering melalaikan manfaat, dan selalu menyakitkan. Apakah tidak bisa berubah seperti sehelai rambut hitam? Bisa, bila mau instropeksi diri sendiri. Mementingkan kepentingan umum, daripada kepentingan pribadi, atau kelompoknya. Dan yang penting selalu berprasangka positif. Jauh dari suudhon.

Lathi kuwi jejeging diri. Lathi kang tumata bakal menjadi citra diri kang luwih becik. Aura kewibawaan akan muncul dengan sendirinya. Tak perlu untuk menciptakannya. Tapi apabila lathi kuwi sumebar ora nganggo tatanan, akan menjadi bumerang yang menyakitkan. Yang akan melemparkan diri kita ke tahi kerbau. Tak mempunyai makna.

Sumangga kita sedayah njagi lathi kathi reseking manah marang wong liya.

Duh Gusti

Duh Gusti! Mengapa sampai saat ini aku masih menjadi manusia, kalau aku masih belum bisa membedakan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh.
Duh Gusti! Mengapa sampai saat ini aku masih menjadi hambamu, walau aku sudah lima kali dalam setiap hari selalu merujuk kepadaMu, namun aku tak bisa membedakan mana kepentingan pribadi dan mana kepentingan untuk kemaslahatan umat.
Duh Gusti! Mengapa sampai saat ini Engkau masih memaafkan segala salah dan khilafku, sedang aku sendiri tak pernah bisa memaafkan kesalahan orang lain.
Duh Gusti! Mengapa Engkau sampai saat ini masih sering memberikan kebijakaan kepadaku, sedang aku sendiri tak pernah menggubris segala rengekan orang lain.
Duh Gusti! Mengapa Engkau masih sering mengingatkanku, sedang aku sendiri selalu tak pernah ingat tentang tindak tandukku.
Duh Gusti! Mengapa Engkau sampai saat ini masih selalu memberikan pelukan kasih sayang kepadaku, sedang aku sendiri masih sangat jarang memberikan perhatian kepada orang-orang yang seharusnya membutuhkan.
Duh Gusti! Mengapa Engkau sampai saat ini masih memberiku kesempatan untuk menikmati pagi, sedang aku sendiri lupa akan jati diriku ketika aku dilahirkan dari rahim seorang ibu.
Duh Gusti! Mengapa Engkau masih memberiku senyuman yang tulus, sedang aku tak pernah setulus itu memberi senyuman kepada orang lain. Senyum yang menghias di bibirku hanyalah sebuah keterpaksaan untuk menghargai orang lain.
Duh Gusti! Mengapa Engkau selalu berprasangka baik kepadaku, sedang aku sering berprasangka buruk kepada orang lain.

Duh Gusti! Hidupku adalah untukMU, namun aku tak pernah bisa memberi hidup kepada orang lain. Segala yang ada dalam genggamku, adalah milikku, sedang orang lain adalah kaki tanganku yang harus bersimpuh menyembahku. Meng-iyakan segala titahku. Selalu membenarkan tindak tandukku. Sekali berkata tidak. Sekali menyepelekan keinginanku. Kusapu bersih sampai keakar-akarnya.
Bagiku yang benar menurutku adalah yang paling benar, sedang yang lain nonsen. Tak pernah kuperhatikan secara bijak. Bahkan kalaupun mereka rakyat jelata menangis tersedu-sedu bersimbah airmata darah, aku tetap berpaling, dan membenarkan kebijakanku.

Duh Gusti! Ingatkan hambaMU yang hina ini dengan seluruh kasih sayangMu. Berilah peringatan dengan keras pada diriku. Berikan noda jelaga pada kebesaranku. Berikan duka yang mendalam dalam kehidupanku. Sebab dengan itu semua, aku yakin bahwa aku akan segera sadar bahwa diriku adalah umatmu yang kecil, dihadapanMu adalah makhluk yang tak berkelas. Dengan semua itu harapanku, aku akan segera sadar, bahwa aku begitu sombong dengan pakaian duniaku, aku begitu angkuh dengan atribut yang menempel di jati diriku.

Duh Gusti! Eling, memang sulit. Melihat noda di dahi kita adalah tak mungkin, tapi mengoreksi sedikit salah orang lain begitu mudah. Kepentingan diri adalah yang utama, sedang kepentingan orang lain adalah kebijakan yang kesekian untuk mendapatkan kata “iya”

Aku di ujung kelupaan. Aku di ujung kepikunan, dan mungkin sebentar lagi, aku akan terbenam dalam kegelapan yang hakiki sehingga akan melupakan rasa welas asih, rasa bijak yang benar-benar bijak. Rasa sayang yang benar-benar sayang.

Semoga, aku tak seperti itu!


(Jendela batin adalah yang kulihat, kudengar, dan kurasakan)