29 Mei 2009

Fotokoe






24 Mei 2009

Foto Soekarno


Berdiri di Atas Kaki Sendiri

Soekarno (Bung Karno) Presiden Pertama Republik Indonesia, 1945- 1966, menganut ideologi pembangunan ‘berdiri di atas kaki sendiri’. Proklamator yang lahir di Blitar, Jatim, 6 Juni 1901 ini dengan gagah mengejek Amerika Serikat dan negara kapitalis lainnya: “Go to hell with your aid.” Persetan dengan bantuanmu.


Ia mengajak negara-nega-ra sedang berkembang (baru merdeka) bersatu. Pemimpin Besar Revolusi ini juga berhasil mengge-lorakan semangat revolusi bagi bangsanya, serta menjaga keutuhan NKRI.

Tokoh pencinta seni ini memiliki slogan yang kuat menggantungkan cita-cita setinggi bintang untuk membawa rakyatnya menuju kehidupan sejahtera, adil makmur. Ideologi pembangunan yang dianut pria yang berasal dari keturunan bangsawan Jawa (Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo, suku Jawa dan ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai, suku Bali), ini bila dilihat dari buku Pioneers in Development, kira-kira condong menganut ideologi pembangunan yang dilahirkan kaum ekonom yang tak mengenal kamus bahwa membangun suatu negeri harus mengemis kepada Barat. Tapi bagi mereka, haram hukumnya meminta-minta bantuan asing. Bersentuhan dengan negara Barat yang kaya, apalagi sampai meminta bantuan, justru mencelakakan si melarat (negara miskin).

Bagi Bung Karno, yang ketika kecil bernama Kusno, ini tampaknya tak ada kisah manis bagi negara-negara miskin yang membangun dengan modal dan bantuan asing. Semua tetek bengek manajemen pembangunan yang diperbantukan dan arus teknologi modern yang dialihkan — agar si miskin jadi kaya dan mengejar Barat — hanyalah alat pengisap kekayaan si miskin yang membuatnya makin terbelakang.

Itulah Bung Karno yang berhasil menggelorakan semangat revolusi dan mengajak berdiri di atas kaki sendiri bagi bangsanya, walaupun belum sempat berhasil membawa rakyatnya dalam kehidupan yang sejahtera. Konsep “berdiri di atas kaki sendiri” memang belum sampai ke tujuan tetapi setidaknya berhasil memberikan kebanggaan pada eksistensi bangsa. Daripada berdiri di atas utang luar negeri yang terbukti menghadirkan ketergantungan dan ketidakberdayaan (noekolonialisme).

Masa kecil Bung Karno sudah diisi semangat kemandirian. Ia hanya beberapa tahun hidup bersama orang tua di Blitar. Semasa SD hingga tamat, ia tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjut di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu ia pun telah menggembleng jiwa nasio-nalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, ia pindah ke Bandung dan me-lanjutkan ke THS (Technische Hooge-school atau Sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar “Ir” pada 25 Mei 1926.
Anda ingin foto Soekarno yang lain, silahkan menghubungi E-mail:ajinanda@yahoo.com

23 Mei 2009

Sajak Seribu

Seribu rupiah
masuk ponten

Seribu rupiah
koran sore

Seribu rupiah
parkir motor

Seribu rupiah
pengaman datang

Seribu rupiah
pengemis ada

Seribu rupiah
teh hangat

Seribu rupiah
infaq di masjid

Masya' Allah !

22 Mei 2009

Kehabisan Ha...

Ha ... ha ... ha ... ha ... ha ... ha ...
Ha ... ha ... ha ... ha ... ha ...
Ha ... ha ... ha ... ha ...
Ha ... ha ... ha ...
Ha ... ha ...
Ha ...
...
...
...
Diam,
Kaku.

Di Matamu Kulihat Bintang


Tatkala rembulan hadir di mayapada
Membias indah berkerudung awan tipis
Kau hadir manja di pangkuan yang lelah
Tatapan mata yang nakal
Hidung kecil menawan
Dan seulas senyum menggoda
Membangkitkan sukma mengusir kepenatan

Kutatap tajam jauh di ujung bola matamu
Kutemukan kedamaian berjuta bintang
Tidak ada yang menyamai
Sejuk, tenang, bahagia memeluk gelap malam

Non ...!
Tak pernah kumerasakan seperti ini
Desah menggelitik jauh di selasar nuraniku
Sejenak membawaku dalam lamunan fatamorgana
Mayapada indah. Cemerlang penuh kedamaian

Non ...!
Pernah kukatakan
Aku suka lekuk indah pada bola matamu
sebab ...
Di sana kutemukan berjuta bintang tiada tara

18 Mei 2009

Bali Fantasy Tour 2009

Kali ini saya mendapat tugas lagi mendampingi anak-anak rekreasi ke P. Bali. Bosan? Tidak juga. Ada keinginan tersendiri untuk selalu hadir di Bali. Seperti halnya bertandang ke Yogyakarta, walaupun hampir tiap saat ke sana, tapi tidak pernah bosan, karena ada nuansa tradisional yang mengelitik untuk dinikmati. Apalagi budaya dan ritme kehidupan tradisional Bali hingga detik ini masih bisa bertahan di tengah gelombang hadirnya turis mancanegara dan turis domestik yang sedikit banyak membawa dampak pada sendi-sendi kehidupan di sana, namun masyarakat Bali mampu mempertahankannya. Sesuatu yang jarang terjadi di daerah lain di Indonesia.

Tahun ini peserta tour ke Bali cukup banyak, rombongan dibagi menjadi enam bus, dan didampingi 17 guru, termasuk bapak kepala sekolah. Dengan didampingi tour leader dari Ma’alas yang cukup berpengalaman, maka perjalanan cukup menjanjikan keamanan dan kenyamanan.


Rombongan berangkat pukul 07.00, molor setengah jam dari jadwal yang telah ditentukan. Bus 1, dikomandani Bp. Sabariyanto, Bp. Suyanto, dan Bu Neni Kartini, membawa siswa kelas XII.IPA-1, dan sebagian XII.IPA-3, Bus 2 dikomandani Bp. Ismanu, Bu Endang, dan Bp. Joko Susanto, membawa siswa XII.IPA-2 dan XII.BHS. Bus 3, Bp. Edi, Bp. Yon, dan Bu Arum, bersama dengan siswa kelas XII.IPA-3 dan XII.IPS-1, Bus 4 didampingi oleh Bp. Sony, Bp. Imam, dan Bu Maria, Bus 5 didampingi oleh Bp. Mariyadi, Bp Agus dan Bu Atik, sedang bus 6, didampingi oleh Bp. Hery dan Bu Anik.

Seperti biasa perjalanan agak terhambat ketika melewati daerah lumpur Lapindo, seluruh kendaraan yang ada di situ harus berjalan merayap bak siput kelaparan. Tapi mau apa lagi karena akses jalan ya hanya melewati tempat itu. Tidak ada alternatif jalan lain. Setelah lepas dari kemacetan, melewati jembatan kali Porong, perjalanan sudah nyaman. Selepas dari areal Pembangkit Tenaga Listrik Paiton, kira-kira pk.12.00 kita sudah sampai di rumah makan UTAMARAYA (Situbondo). Makan siang di tempat ini cukup nyaman karena disamping areal parkirnya cukup luas, juga yang tidak kebagian tempat duduk di dalam bisa makan di luar, di taman yang ada disamping rumah makan, sedang untuk bapak/ibu Pembina disediakan tempat tersendiri di lantai dua, namun menu yang dihidangkan sama dengan yang dinikmati siswa.
(foto di rumah makan)

Perjalanan di lanjutkan, sesampai di perbatasan Probolinggo, rombongan dikawal mobil patroli, kebetulan salah seorang siswa ayahnya Kapolresta Banyuwangi. Dengan beriringan bus yang berjumlah 6, bisa melanjutkan perjalanan dengan lancer plus bisa menghemat waktu. Kalau tanpa dikawal biasanya baru sampai di pelabuhan Ketapang Magrib, tapi dengan adanya pengawalan seperti ini rombongan tiba di pelabuhan Ketapang sekitar pukul 16.00. Moga saja tahun depan bila masih ada program tour ke Bali ada pengawalan seperti ini, asyik khan! Nah fasilitas plus masih kita dapatkan, yaitu ketika sudah sampai di pelabuhan Ketapang, rombongan tidak usah antre, enam bus bisa langsung masuk kapal feri, wah asyik lagi! Waktu bisa dihemat lagi! Bisa lebih cepat lagi! Dan masih banyak lagi … lagi … yang lain.

Seperti biasa sebelum anak-anak turun dari bus, untuk menuju kapal feri mereka sudah diwanti-wanti, bahkan sejak dari sekolah, bahwa mereka selama di dalam feri harus berkelompok, dan diharpakan untuk selalu berada di tempat penumpang yang telah disediakan. Tidak diperkenankan untuk berada di dek paling atas, disamping berbahaya, juga rawan untuk masuk angin. Ada pemandangan klasik kalau kita mau menuju ke feri pasti akan melewati jembatan yang cukup panjang, nah di kiri kanan jembatan itu kita akan melihat beberapa anak setengah baya yang lagi berenang di laut. Mereka pasti akan berteriak-teriak kepada orang-orang yang melewati jembatan itu. Harapannya orang-orang akan melemparkan uang koin ke laut dan mereka akan berenang untuk mengambil uang koin itu. Beberapa kali pak Yon melempar uang koin, dan dengan cekatan beberapa perenang alam berebut untuk mengambil uang koin itu. Terlihat beberapa perenang juga menggunakan sepatu katak agar berenang lebih cepat.





Kurang lebih empat puluh lima menit berada di tengah laut, akhirnya rombongan sampai di pelabuhan Gilimanuk, dan melanjutkan perjalanan darat menuju ke Denpasar tepatnya ke Hotel Made Bali, yang beralamat di jalan Raya Sempidi Denpasar. Dari Gilimanuk ke hotel perjalanan cukup menjemukan karena malam hari sedang di kiri kanan jalan hanya rerimbunan gelap apalagi hujan rintik-rintik juga ikut menemani, sehingga untuk pak sopir harus ekstra hati-hati. Kurang lebih tiga jam perjalanan, waktu yang cukup lama apalagi badan sudah terkuras habis dan kelelahan sudah mulai mendera, anak-anak di bus sebagian sudah terlelap, kalaupun ada satu dua anak yang tidak bisa tidur hanya diam sambil menahan lapar. Sejak awal anak-anak memang sudah diberitahu bahwa perjalanan dari Gilimanuk ke hotel cukup lama oleh karena itu harus menyiapkan roti atau makanan sendiri untuk cadangan bila terlambat sampai ke hotel.

Tepat pukul 20.00 WIB. rombongan tiba di hotel Made Bali. Dipandu oleh Pak Ismanu pembagian kamar untuk anak-anak dan guru Pembina berjalan dengan lancar. Fasilitas kamar untuk siswa dan guru Pembina standar, ada dua buah tempat tidur yang bisa dipakai dua orang. Setelah mandi dan istirahat sejenak, seluruh rombongan makan malam di sebuah ruangan yang terpisah dari areal kamar. Saat itu di hotel juga ada rombongan SMA dari daerah Jawa Tengah, ada tiga bus. Praktis malam itu rombongan kami istirahat total dan tidak ada acara khusus.





KARANG KURNIA
Selasa, 12 Mei 2009, hari kedua di Bali, setelah sarapan, objek wisata pertama yang dikunjungi yaitu Karang Kurnia, yaitu semacam outlet yang menyediakan pernak-pernik cinderamata khas Bali dengan harga sesuai dengan kantong siswa, tetapi dengan kualitas barang yang lumayan. Outlet ini baru buka tiga bulan, dan letaknya tidak begitu jauh dari hotel. Satu tempat alternative selain Pasar Seni Sukowati, dan Galuh. Tahun sebelumnya
Sebelum menunggu pertunjukan barong biasanya ke Galuh, hanya kalau ke Galuh barang yang ditawarkan harganya jauh dari kemampuan siswa, memang sih kualitasnya bagus, tapi kebanyakan siswa kalau ke Galuh hanya melihat-lihat numpang lewat. Oleh karena itu tahun ini ditawarkan oleh travel outlet baru Karang Kurnia.
Pukul 08.58 WIB rombongan tiba di Karang Kurnia, toko tersebut baru saja buka, hal itu terlihat beberapa karyawan masih menyapu lantai. Setelah masuk ke toko tersebut memang benar, semua barang yang dijual harganya tidak berbeda jauh dengan harga di Sukowati, alhasil hampir semua siswa bahkan guru-guru mborong cinderamata.





TANJUNG BENOA
Objek kedua yang dikunjungi pada hari itu adalah Tanjung Benoa. Yaitu suatu kawasan pantai yang biasa terkenal dengan istilah watersport. Di daerah itu kita dimanjakan dengan berbagai permainan air yang menantang andrenalin. Bagi yang ingin mencoba keberanian bisa menikmati parasiling, banana boat, fliying fish, atau jet ski. Sedang yang tidak ingin berbasah-basah cukup menikmati keindahan pulau penyu dan terumbu karang dengan berbagai jenis ikan hias yang bisa dinikmati dengan menyewa perahu, dan pada perahu tersebut ada alat semacam kaca yang bisa digunakan untuk melihat panorama bawah laut. Saat di hotel saya berniat ingin mencoba banan boat, malah sudah brsepakat dngan pak Imam, tetapi sampai di Tanjung Benoa, kita tidak jadi menikmati banana boat tapi mencoba parasiling.



Parasiling adalah sebuah parasut yang ditarik speedboat. Sebelum kita naik parasiling, kita memakai rompi pelampung, kemudian memakai beberapa peralatan yang biasa digunakan oleh penerjun. Setelah mendapat beberapa instruksi cara mendaratkan parasut, maka speedboat akan menarik penerjun. Dari ketinggian kurang lebih 80 meter dari permukaan laut kita bisa menyaksikan panorama yang tiada duanya, bahkan batu karang atau terumbu karang di laut juga tampak kehitam-hitaman. Karena belum terbiasa terjun maka ketika akan mendarat agak sedikit bingung. Mau mendarat di sebelah mana, karena pantai yang begitu panjang. Tapi setelah mendekati pantai, apalagi pemandu yang berada di darat sudah mengangkat bendera biru, maka kita mengetahui arah mendarat. Dengan tarikan tali parasut sebelah kanan secara otomatis parasut sudah mengarah ke bibir pantai. Dan dengan menekuk sedikit kaki kita akan dapat mendarat dengan nyaman.

Flying Fish adalah permainan air yang sangat menantang. Sebuah perahu karet berbentuk ikan pari, dua orang penumpang di sebelah kiri dan kanan tidur terlentang. Sedang pemandu berada di tengah diantara dua penumpang tersebut, yang mempunyai tugas untuk menjaga keseimbangan agar perahu karet kitika melayang di atas permukaan air tidak terbalik. Dengan ditarik speedboat berkecepatan tinggi, maka perahu tersebut akan melayang di udara, dengan ketinggian kurang lebih 5-6 meter. Sensasi berada di atas sebuah layang-layang tidak bisa terbayangkan. Hanya sayang di sini penumpang tidak bisa aktif, hanya pasif menikmati tarikan dari speedboat tersebut.

Banana boat, adalah sebuah perahu karet berbentuk pisang yang ditarik speedboat dengan kecepatan tidak terlalu kencang. Berpenumpang maksimal 4 orang plus satu orang pemandu yang berada paling depan, penumpang akan merasakan desiran angin laut dingin mengingit tulang. Kurang lebih 20 menit kita akan mencoba keberanian berada di tengah laut. Tapi jangan takut tenggelam, karena sebelum naik banana setiap penumpang sudah memakai rompi penyelamat. Nah sebelum banana tersebut ditarik speedboat, penumpang bisa meminta kepada pemandu, selama perjalanan banana tersebut mau digulingkan ke air atau tidak. Jelas kalau digulingkan maka seluruh penumpang akan masuk ke air dan basah kuyup.



Jet Ski, seperti yang kita lihat di televise, jet ski di Tanjung Benoa juga sama. Jet ski tersebut maksimal dinaiki 2 orang penumpang. Dengan tarif sekitar seratus ribu, kita bisa menikmati tarikan gas sesuka kita.

Wisata pulau penyu. Bagi wisatawan yang tidak suka berbasah-basah bisa naik kapal boat bersama-sama menuju pulau penyu. Di sana bisa melihat bermacam-macam penyu. Selain itu kita bisa menikmati panorama bawah laut dengan terumbu karang dan ikan-ikan hias yang cantik.

Sebelum melanjutkan ke objek wisata Outlet Jangkrik, dengan terpaksa bus 3 harus tertinggal dari bus yang lain, karena tuas persneling harus dilas terlebih dahulu. Untungnya penghuni bus 3 bisa memahami hal tersebut.

JANGKRIK
Tepat pukul 12.30 Bus 3 berangkat ke Jangkrik. Dengan diiringi air hujan yang cukup deras akhirnya rombongan bus 3 datang paling akhir ke Jangkrik, setelah makan siang, saya sempat melihat outlet Jangkrik, dan membelikan beberapa potong kaos untuk yang di rumah. Hanya ketika itu koleksi kaos yang ada di counter baik di lantai dasar maupun di lantai atas tidak selengkap ketika setahun yang lalu mampir ke sini. Dan juga karikatur yang melekat di kaos tidak banyak berubah, karikaturnya tetap. Masukan untuk pengelola Jangkrik, kalau masih ingin tetap dikunjungi penggemarnya maka pengelola harus berani tampil beda, utamanya karikatur yang dikaos, harus lebih banyak fariasinya, dan baru. Alhasil saya agak kerepotan untuk memilih. Sempat juga jepret sana jepret sini, khusus untuk arena museum karikatur yang bagi saya cukup menarik dan tidak membosankan. Juga sempat memotret seseorang yang lagi membuat karikatur.