17 Januari 2008

PhotobucketPhotobucketPhotobucketPhotobucketPhotobucketPhotobucketPhotobucketPhotobucketPhotobucket Kalau aku seperti ini, ternyata kehidupan ini menyenangkan. Tanggalkan kesedihan. Sampirkan keinginan. Nikmatilah apa yang ada di depanmu. Singkirkan ceruk meruk dunia yang tak punya mata, tak punya telingga, terlebih tak punya hati. Sebagian dari kita hati hanya merupakan hiasan, seperti lukisan berpigora indah yang diletakkan di ruang tamu. Tapi tak memberikan makna apapun, tak bisa memendarkan nuansa citra. Mengapa kita tidak berusaha menjadi sebuah lukisan indah. Yang benar-benar indah kata semua orang. Semuanya terletak pada keseimbangan otak, hati, dan nurani yang jernih.

13 Januari 2008

Bermain dengan Rindu



Bentangan air telaga nan jernih, dengan timpahan sinar mentari, menimbulkan binar-binar cemerlang bak mutiara di atas permadani bening. Di atasnya sepasang angsa putih bersih bersenda gurau memainkan melodi tentang kasih, tentang haru biru bercinta. Sedangkan angin yang lewat sejenak, membelai bulu-bulu angsa yang halus, menimbulkan aroma wewangian, menambah suasana romantis, bak surga di tanah Cina yang rupawan.

Ada kegelisahan di riak air. Gejolak lirih menimbulkan garis-garis melengkung, dari pusat membentuk lengkungan yang kian lebar, kian lebar hingga ke tepi telaga, dan pada akhirnya menghilang tanpa jejak. Sedang air jernih kembali jernih
.
Ketika angsa betina memagutkan kepalanya pada sang jantan. Ketika terdengar lenguh manja. Ketika mata bertemu mata. Ketika senyum bertemu senyum. Ketika bentangan daun-daun di sekitar telaga tak terhiraukan. Ketika angin tak terasakan lagi. Semuanya sekejap memainkan peran yang sama-sama berarti dan mempunyai makna. Nampak angsa betina tersenyum dengan tatapan mata berbinar, begitu pula dengan angsa jantan.

Tiba-tiba langit yang sedari tadi tampak bersahabat, dalam sekejap telah dipayungi mendung hitam tebal. Sedangkan angin tidak lagi mendayu tapi sudah berubah menjadi angin kencang. Riak air mulai nampak di telaga yang bening itu. Riaknya makin lama makin membesar hingga berubah menjadi gelombang yang menampar dinding tepi telaga. Sedang pohon-pohon rindang mulai meliuk-liuk mempertahankan kekokohannya.
Daun-daun yang seharusnya belum gugur dengan terpaksa gugur berjatuhan ke tanah dan tertiup angin, dibawa ke langit. Hewan serangga yang sedari tapi menikmati pemandangan indah yang diperankan kedua angsa tadi lari berhamburan menuju sarangnya. Sedangkan yang tidak sempat terbawa angin, terbang.

Satu dua titik-titik air mulai luruh. Membasahi tanah dengan rerumputan yang hijau. Tanah mulai basah dengan genangan-genangan air di sana sini. Daun-daun yang berserakan tak luput berlepotan dengan air. Angsa jantan sudah mulai naik di tepi telaga diikuti angsa betina. Sejenak mereka berdua bertatapan, tanpa suara, tanpa kedipan mata, tanpa makna. Gelegar dan kilatan petir membuyarkan pikiran mereka, tapi semuanya tidak bertahan lama. Kesunyian hadir di hati masing-masing. Tatapan mata, tak bermakna, senyum tak bermakna, hanya ada kegalauan yang hinggap dan menghuni di masing-masing hati mereka.

Air telaga mulai menggenangi kaki mereka. Hujan semakin lama semakin deras. Angin kelihatan sudah tidak bersahabat lagi. Pohon-pohon satu dua sudah mulai tumbang. Sedangkan rumput yang mereka pijak sudah tak tampak. Semuanya tergenang air yang sudah mulai keruh bercampur dengan tanah dan sisa-sisa daun yang tertinggal di tepi telaga itu. Keceriaan dan kesyahduan yang sejenak mereka nikmati tadi telah luluh lantak terhapus. Yang tersisa hanya di hati masing-masing.

Tanpa ada suara, tanpa ada tatapan, tanpa ada keceriaan, angsa jantan dan angsa betina mencari jalan sendiri-sendiri. Mencari jalan ke sarang mereka. Mencari kehidupan yang mereka anggap paling bersahaja. Berusaha menemukan kebenaran di atas kebenaran. Berusaha menemukan cinta di atas cinta. Berusaha menemukan kebahagiaan di atas kebahagiaan. Berusaha menemukan kesombongan di atas kesombongan. Sedangkan rasa rindu, dengan pongah mereka titipkan pada angin, pada hujan, pada halilintar, pada air, pada pohon, pada tepi telaga, yang sekarang sudah keruh airnya.

(Catatan perjalanan mencuri waktu)

08 Januari 2008

Menghadapi Ujian Tari

Sudah seminggu ini pipit terkecilku setiap pagi setelah mandi selalu berlatih menari. Semua itu aku persiapkan dalam menghadapi ujian tari yang tinggal seminggu lagi. Apalagi pertengahan Januari 2008 ini Sanggar Tari Bagong Kussudihardjo Cabang Surabaya akan mengikuti Lomba Tari antar Sanggar Tari di Surabaya.

Pada tingkat dua ini, tarian yang akan diujikan yaitu tari burung dan tari domba. Untuk tari burung sudah tidak diragukan lagi, karena tarian ini telah dua kali ditampilkan yaitu pada waktu acara di TVRI Surabaya, dan satu lagi pada waktu lomba di Giant Hypermarket, di jalan A. Yani Surabaya. Tentunya aku adalah orang yang paling senang dan bahagia melihat pipit terkecilku begitu gemulai bila sudah mulai menari. Apabila aku perhatikan di antara teman-teman di sanggar tari, kelihatan sekali perbedaan dalam gerakan tari. Pipitku lebih menjiwai dalam gerak tari yang dia lakukan. Moga aja perkiraanku memang benar.

Kebahagiaan dan ketentraman batin aku dapatkan bila pagi melihat pipitku menari. Ada nuansa sendiri yang hadir. Nuansa rumah yang begitu sejuk di pagi yang dingin, dengan suara gamelan jawa yang mendayu. Mau tak mau setiap latihan hari Senin di Taman Cak Durasim aku juga harus berusaha menghafalkan gerakan-gerakan tari. Terutama tari domba. Semua itu aku lakukan agar ketika berlatih di rumah sedikit banyak aku bisa mengarahkan apabila ada gerakan tari yang kurang sempurna atau ada yang terlupakan. Ya, mencoba jadi guru tari, walaupun kenyataannya aku sendiri tidak bisa menari. Entah bakat dari mana, sehingga pipitku ini bisa menari begitu lembut. Ada kebanggaan tersediri dalam diriku yang tak bisa aku ucapkan. Di kala anak lain sibuk bermain layaknya anak kecil, pipitku ini harus menikmati gending-gending Jawa pengiring tarian yang dia lakonkan. Moga harapan eyank kakungnya untuk mendapatkan nilai yang lebih baik pada ujian kali ini bisa terkabulkan.

Cerita Sepotong Roti

Seorang anak kecil datang padaku
Sisa ingus masih menggantung di bawah hidungnya
Matanya kuyu kurang tidur
Tangannya hitam dekil penuh debu
Bertelanjang kaki
Kaos yang dikenakan sudah berubah warna
Dengan tangan menengadah, disorongkannya padaku
Sejenak aku tertegun
Menyaksikan pemandangan sore ini
Di tengah belantara kota yang penuh hiruk pikuk
Dan tak pernah tidur
Di antara merkuri yang telah terang benderang
Masih menyisakan seorang anak yang demikian
Seorang diri di antara hutan gedung
Seorang diri di bawah merkuri
Seorang diri di tengah rintik hujan
Seorang diri berselimut debu kotor

Aku ambil sepotong roti dari dalam tasku
Roti yang aku dapatkan dari tempat kerjaku
Yang sedianya aku bawa pulang untuk pipitku
Aku berikan sepotong roti itu
Tanpa mengucap, dia ambil
Dan berlalu begitu saja dari hadapanku

Sepotong roti telah mengantar senja ke peraduannya
Menabur mimpi, memimpikan cita esok hari
Senja ini telah diselesaikan dengan hanya sepotong roti
Entah senja esok hari ...

06 Januari 2008

90 Menit di Ruang 16

Pagi ini, kuberikan selembar kertas kepada mereka
Pagi ini mereka tersenyum
Mata yang penuh semangat, mulai menelusuri kata demi kata, kalimat demi kalimat
Setengah jam berlalu
Semuanya nampak berantusias dan optimis

Satu jam menjelang
gelisah mulai datang
Rasa cemas mengalir dalam darah
Ketakutan tampak di wajah-wajah mereka
Pesimis mulai menghantui
Kata dan kalimat terasa asing
Kata dan kalimat tidak mereka mengerti
Kata dan kalimat membingungkan
Kata dan kalimat keputusasaan

Berlalu dari satu jam
Mereka mulai bersemangat lagi
Melihat teman dengan penuh harap
Melihat teman dengan mengedipkan mata
Melihat teman dengan senyum penuh arti

Menapaki setengah jam berikutnya
Kata dan kalimat sudah tak dihiraukan
Kata dan kalimat sudah tak terbaca
Kata dan kalimat sudah tak bermakna
Kegelisaan sudah memuncak
Rasa cemas sampai ke ubun-ubun
Rasa khawatir tertulis di mata
Jantung berdegup dengan cepat
Mulai melirik ke belakang
Mulai melirik ke kiri
Mulai melirik ke kanan
Mulai berkode
Mulai batuk-batuk
Mulai garuk-garuk kepala

Waktu habis
Harapan tertinggal di tangan sang penguasa

Mimpi 2

Aku siap mendaki
Kau datang, ingin ikut
Aku mengiyakan
Ada keceriaan di sudut bibirmu
Ada keriangan di sudut matamu
Aku berjalan
Kau berjalan
Ku gandeng tanganmu
Kau gandeng tanganku
Ku genggam jarimu
Kau genggam jariku
Masih kuingat
Semua dalam mimpiku

Mimpi 1

Terlelap
Kau datang
Ku dekap
Ku cium
Kau buka mata
Ku buka mata
Kau tersenyum
Ku tersenyum
Pipit kecilku membangunkanku!

Haruskah!

Haruskah aku jauh!
Baru dapat bermimpi!
Haruskah aku bersedih!
Baru dapat bermimpi!
Haruskah aku disakiti!
Baru dapat bermimpi!
Haruskah aku menyakiti!
Baru dapat bermimpi
Haruskah aku sakit!
Baru dapat bermimpi!

Mimpi tidak akan pernah dapat menjawab semua itu.
Mimpi akan hadir bila memang ia ingin hadir

Apakah?

Apakah benar ...
Benar!
Apakah salah ...
Salah!
Apakah sakit ...
Sakit!
Apakah lucu ...
Lucu!
Apakah berhasil ...
Berhasil!
Apakah berani ...
Berani!

Ternyata orang-orang sekarang lebih pandai. Kalimat pertanyaan belum selesai, tetapi mereka sudah tahu jawabannya.
Hebat!

03 Januari 2008

Masih Seperti Pagi Kemarin

Ada angin
Ada dingin
Ada sejuk
Menyentuh kulit tubuhku
Gerimis dengan rinainya yang lembut
Menampar wajahku yang berkerudung helm
Wanitaku, bergelayut memeluk pinggangku

Masih seperti pagi kemarin
Jalan Adityawarman masih sepi
Aku berhenti atas perintah lampu merah
Hijau! Kutelusuri jalan Hayam Wuruk
Biasanya di perempatan berdiri tentara yang jaga
Tapi pagi ini tidak ada
Mungkin masih tidur
Atau mungkin masih tertidur
Atau mungkin masih ditiduri
Yang pasti, nuansa pagi ini membuat orang malas bangun tidur. Enggan melepas mimpi yang sudah terlanjur menyita hasrat. Merasa berat menyibak selimut yang sudah memberikan kehangatan.

Di ujung jembatan Karah, melintas sungai Brantas
Airnya tetap sama, masih seperti pagi kemarin.
Keruh. Buthek. Masih tersisa gumpalan-gumpalan busa yang hanyut oleh arus dari selokan pabrik di tepi sungai.
Kata orang
Kata pemerintah
Kata PDAM
Inilah bahan baku kebutuhan air warga Surabaya
Termasuk aku

Sehatkah air itu?
Kata para ahli
Kata para pakar
Kata para pemerhati kesehatan
Air yang diproduksi (Maaf! diolah) oleh PDAM tidak sehat
Aku mengatakan, air itu cukup sehat
Kenyataannya sampai pagi ini, dan masih seperti pagi kemarin, walaupun aku minum, mandi, nyuci, wudlu, keramas, masak nasi, buah teh, buat kopi, buat kolak dengan air PDAM, masih sehat walafiat.
(Maaf! Entah nanti)

Kulanjutkan laju motorku
Setelah melewati Telkom, dan setelah belokan makam Ketintang. Aku mampir ke warung fotokopi.
Masih seperti pagi kemarin, warung fotokopi ini selalu buka paling pagi.
Ibu berjilbab pemilik warung fotokopi ini sangat rajin. Semangat kerjanya tinggi. Di kala pemilik warung fotokopi lain lagi terlelap mimpi ibu berjilbab ini sudah berbaur dengan kertas dan tinta.
Hebat!

Kutinggalkan wanitaku. Menunggu hasil fotokopi. Kunikmati pagi ini dengan berjalan kaki menuju tempat kerjaku yang tak begitu jauh lagi.
Kulewati rel sepur.
Masih seperti pagi kemarin, aku lebih dulu melintasi rel sepur ini daripada KA Pasundan jurusan Bandung.

Masih seperti pagi kemarin. Aku bergumul dengan waktu, kerja, siswa, buku, PBM, celoteh, guyon, cakap, menentang, ditentang ...

Masih seperti pagi kemarin!

Pukul 08.07

Aku duduk menghadap ke depan
Mereka duduk menghadap ke depan
Di depanku
Alf
Annis
Arif
Ayu
Candra
Choir
Chomsy
Dania
Derr
Lind
May
Moh
Ada yang serius
Ada yang menggoyang-goyangkan pensil
Ada yang menulis
Ada yang berpangku dagu
Ada yang menggeliat kedinginan
Ada yang memandangku
Ada yang bersandar ke tembok
Ada yang membaca
Ada yang melihat jam di tangan

Pagi ini
adalah hari pertama jam pertama UAS di sekolahku

Warna-Warna

Si Mamat suka warna hitam
Sebab, dia bisa bersembunyi di balik pekatnya warna hitam, hingga tidak ada seorang pun yang tahu.

Si Udin suka warna hijau
Katanya, hijau melambangkan kehidupan yang alami. Memberikan nuansa sejuk, bertabur senyum, tawa, dan kegetiran.

Si Eko suka warna biru
Alasannya, laut biru, penuh dengan misteri yang tak kan pernah terkuak oleh waktu. Langit biru, wahana yang menyenangkan bagi burung, kupu, dan kunang. Darah biru, kesakralan urutan keturunan dari para ningrat.

Si Joko suka warna merah.
Berani! Lambang kegagahan, walau pada akhirnya kalau tidak berhati-hati timbul kesombongan. Merah darah, jantung kehidupan, menjadikan kita tetap bisa menikmati keindahan dan kemursalan manusia, kadang tak pernah disyukuri. Merah lampu, mengajak tertib untuk mematuhi peraturan. Merah bibir, Indah! kadang ada tipudaya dan bujukrayu.

Dari sekian aneka warna yang sudah tergores di kanvas kehidupan, menjadi lukisan yang indah, mendayu, merayu, cantik, sakit, menyakiti, disakiti, bencana, korupsi, mencatut memalak, serakah. Aku akan memilih "tanpa warna"

Bening!